Jakarta -
Heat dome atau kubah panas memerangkap panas ekstrem di suatu wilayah selama berhari-hari atau berminggu-minggu, meningkatkan risiko kesehatan dan menimbulkan pertanyaan mendesak karena perubahan iklim membuat kejadian ini lebih sering terjadi.
Saat suhu global meningkat, demikian pula pola cuaca langka berbahaya terasa seperti dipanggang yang dikenal sebagai heat dome lebih sering terjadi.
Sistem tekanan tinggi yang berlangsung terus-menerus ini dapat bertahan di daerah berpenduduk, menjebak udara panas seperti tutup panci yang mendidih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan model iklim yang menunjukkan bahwa bencana menjadi lebih sering dan lebih intens, memahami pembentukan, dampak, dan pencegahannya menjadi lebih penting.
Apa Itu Heat Dome?
Heat dome atau kubah panas adalah area luas udara hangat yang terkait dengan tekanan tinggi, yang dapat bertahan cukup lama hingga menyebabkan dampak kesehatan yang signifikan.
Menurut ahli meteorologi Eric Kelsey, yang dikutip dari Popular Science, heat dome terbentuk saat sistem tekanan tinggi berhenti di daratan, mencegah udara panas keluar atau cuaca dingin masuk. Kurangnya awan di bawah kubah ini memungkinkan sinar Matahari yang intens semakin memanaskan tanah dan udara.
Jet Stream dan Kelembapan Berkontribusi
Heat dome dikaitkan dengan pergeseran jet stream atau aliran jet, yaitu arus udara kuat dan sempit yang mengalir di ketinggian tinggi, biasanya di troposfer atas, yang bergerak dari barat ke timur di sekitar Bumi. Saat jet stream menonjol ke utara membentuk punggung bukit, udara hangat akan terkunci di tempatnya.
Kelsey menjelaskan bahwa selama musim panas, punggungan ini dapat terbentuk di wilayah seperti Pantai Timur AS, yang sering disebut sebagai 'Bermuda High', menarik udara lembap dari Teluk dan meningkatkan tekanan panas. Pola serupa terjadi di dekat daratan barat, ketika air dari Pasifik meningkatkan kadar kelembapan.
Heat Dome Lebih Sering Terjadi
"Kubah panas muncul lebih sering dan lebih intens, karena jet stream yang menjadi lebih tidak menentu di dunia yang makin memanas," Kelsey menjelaskan.
Peristiwa seperti gelombang panas di 2023 di wilayah barat daya AS dianggap 'hampir tidak mungkin' terjadi tanpa adanya perubahan iklim. Lalu di tahun ini, terjadi gelombang panas yang mematikan di Eropa, China, dan Australia.
(rns/rns)