Tukang Becak-Prajurit TNI Kaya Raya, Dapat Uang Rp 50 M Dalam Semalam

1 month ago 29

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena kaya raya mendadak membuat penasaran dan heboh banyak orang. Apalagi jika mendapat uang miliaran rupiah dalam semalam, seperti yang dialami oleh petani bernama Suradji, tukang becak Pak Sayat dan prajurit TNI (dahulu ABRI) Kapten Suseno, pada dekade 1990-an. 

Sekalipun waktunya berbeda, ketiganya punya satu kesamaan, yakni sama-sama mendapat uang Rp1 M pada tahun 1990-1991. Kehebohan pertama dimulai oleh tukang becak bernama Pak Sayat. Pada 9 Mei 1990, Sayat sukses mendapat hadiah Rp1 Miliar usai kupon undian yang dibeli cocok dengan kocokan pemerintah.

Harian Waspada (17 Mei 1990) memberitakan, uang hadiah tersebut mengubah hidup Sayat dari semula tukang becak yang terjerat kemiskinan menjadi miliarder. Dia pun mengalihkan uang hadiah tersebut ke dalam bentuk deposito dan rumah untuk anak-anaknya. 

Kehebohan selanjutnya terjadi karena prajurit ABRI Kapten Suseno. Di hari Selasa, 7 Mei 1991, Suseno dipanggil oleh Menkopolkam, Sudomo. Dia dipanggil bukan karena tugas sebagai prajurit ABRI, tetapi disebabkan keberuntungannya menang uang Rp1 Miliar. 

Surat kabar Suara Pembaruan (8 Mei 1991) menyebut, dia dapat hadiah usai sebelumnya kupon undian seharga Rp 5.000 yang disediakan pemerintah. Berkat kemenangan tersebut, dia dinyatakan sebagai prajurit miliarder yang hidup tenang tanpa perlu kerja. 

Terakhir, dan yang paling heboh, adalah petani bernama Suradji. Sama seperti Sayat dan Suseno, Suradji juga mendapat hadiah Rp1 Miliar dari pemerintah lewat mekanisme undian. Hanya saja, satu hal menarik adalah dia tak menggunakan semua uang tersebut untuk keperluan pribadi, tetapi juga buat warga sekitar. 

Harian Suara Pembaruan (9 November 1991) menyebut, Suradji secara sukarela membangun jembatan seharga Rp117 juta untuk membantu warga menyeberangi sungai. Sebab, selama ini jembatan yang ada sangat ringkih dan membahayakan warga. Pemerintah tak kunjung merenovasi jembatan dan akhirnya Suradji pun turun tangan menyelamatkan warga.

"Jembatan yang dibangun dengan biaya Rp117 juta itu bukanlah proyek Inpres atau swadaya masyarakat. Namun, dibiayai sepenuhnya oleh seorang warga desa bernama Suradji. [...] Buruh tani dan penjual bambu itu, menamakan jembatan sumbangannya sebagai jembatan SDSB," tulis pewarta Suara Pembaruan.

Sampai sekarang, jika Anda buka Google Maps, jembatan SDSB masih eksis di Klaten. Jembatannya masih berdiri tegak di atas derasnya arus sungai. 

Nominal uang yang didapat Suradji, Sayat, dan Suseno jelas sangat besar pada masanya. Mari kita bandingkan dengan harga properti dan emas tahun 1990. 

Ambil contoh harga rumah di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta. Di sana harga per unit mencapai Rp80 juta. Artinya, dengan uang Rp1 miliar, mereka bisa membeli 12 unit rumah di Pondok Indah.

Lalu, harga emas pada 1990 hanya Rp20 ribu per gram. Dengan uang Rp1 miliar, ketiganya bisa memborong 50 Kg emas. Berarti jika dikonversikan melalui penyetaraan harga emas (1 gram: Rp1 juta), diketahui uang Rp1 miliar tahun 1990 setara Rp50 miliar pada masa sekarang.

Hanya saja, uang tersebut diperoleh dari hadiah yang bukan sembarang hadiah. Lalu juga didapat dari undian yang tak biasa, yakni Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Fenomena apa itu?

Fenomena SDSB, Saat Judi Dilegalkan Pemerintah

SDSB merupakan kebijakan pemerintah Soeharto sejak 1989 untuk menarik uang dari masyarakat lewat kupon undian. Pemerintah melalui Kementerian Sosial mencetak kupon undian untuk dibeli masyarakat di rentang harga berbeda. Lalu uang dari masyarakat dipakai modal pembangunan.

Sebagai timbal balik, masyarakat akan mendapat uang jutaan hingga miliaran rupiah dari tebakan kupon undian. Tentu saja uang diperoleh dengan peluang sangat kecil.

Jika kupon yang dibeli sesuai dengan pengumuman, maka si pembeli mendapat uang hadiah. Dari jutaan peserta, hanya 1-2 orang saja yang berhasil menang. Jadi, seseorang yang memenangkan undian ini membuat jatah hoki seumur hidupnya terpakai, seperti yang terjadi pada ketiga tokoh di atas. 

Praktik seperti ini tak ada bedanya dengan perjudian yang sekarang marak. Banyak orang, khususnya para pengkritik Orde Baru, menganggap kebijakan tersebut seperti legalisasi judi. Salah satunya adalah aktivis Sri Bintang Pamungkas dalam Ganti Rezim Ganti Sistim (2014) yang menyebut, SDSB seperti judi yang dilegalisasi pemerintah Soeharto.

Para mahasiswa juga sepakat bahwa SDSB adalah judi. Di Yogyakarta, misalnya, harian Suara Karya (5 Desember 1991) mewartakan, ribuan mahasiswa mendemo Soeharto agar SDSB dihentikan. Argumennya sederhana: SDSB membuat pemerintah untung, tapi di akar rumput malah buntung.

Masyarakat yang ingin kaya mendadak berlomba-lomba membeli kupon SDSB. Bahkan melakukan segala cara untuk dapat uang supaya bisa membeli kupon, seperti berutang, pergi ke dukun atau menjual harta benda. Masalahnya, tindakan tersebut membuat mereka jatuh miskin, menderita hingga bunuh diri.

Sebab mereka sudah keluar uang banyak, tapi tidak pernah mendapat hadiah. Atas tuduhan tersebut, Pemerintah membantah disebut melakukan judi.

Dalam pewartaan Suara Pembaruan (12 November 1991), Menteri Sudomo, menyebut kalau yang dilakukan pemerintah adalah mengadu untung dengan membeli kupon bernomor atau dengan menentukan nomor sendiri dapat hadiah uang. Dalihnya, SDSB pakai kertas, tak pakai kartu seperti judi.

Sekalipun demikian, bantahan tak membuat masyarakat tutup mata dan telinga kalau itu adalah perbuatan judi. Sampai akhirnya, kebijakan SDSB benar-benar dihentikan pada 1993.

Kini, perjudian sebagai jalan pintas mendapat uang banyak secara cepat sedang masif diberantas. Meskipun, langkah itu tak bisa menghapus sejarah bahwa judi dulu pernah dilegalkan di Indonesia.


(mfa/mfa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Lirik Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global

Next Article Tukang Becak di Jawa Jadi Miliarder, Menang Undian Rp50 M

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research