Jakarta, CNBC Indonesia - Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ibadah haji memiliki makna sangat penting. Selain sebagai bentuk pemenuhan rukun Islam, haji juga kerap dianggap sebagai simbol status sosial di tengah masyarakat.
Tingginya makna spiritual dan sosial ini membuat minat masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah haji selalu tinggi setiap tahunnya. Sayangnya, antusiasme tersebut membuka peluang bagi oknum agen travel haji yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan penipuan.
Salah satu kasusnya pernah terjadi ratusan tahun lalu yang membuat ribuan calon jemaah haji asal Indonesia terlantar di Singapura. Bagaimana kisahnya?
Iming-Iming Biaya Murah
Besarnya antusiasme masyarakat Indonesia (saat itu Hindia Belanda) untuk menunaikan ibadah haji harus terbentur dengan biaya yang sangat mahal. Pada masa penjajahan Belanda, ongkos pergi haji jauh lebih tinggi dibandingkan masa kini.
Dulu, perjalanan haji tidak menggunakan pesawat seperti sekarang, melainkan kapal laut. Waktu tempuhnya bisa mencapai 1-2 bulan, baik saat berangkat maupun pulang, sehingga total durasi perjalanan bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Lamanya perjalanan tentu sebanding dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Para calon haji kala itu harus menyiapkan dana untuk berbagai keperluan, seperti transportasi kapal, akomodasi selama di perjalanan, kebutuhan selama beribadah di Makkah, hingga ongkos kembali ke tanah air.
Bupati Serang dan Jakarta, Achmad Djajadiningrat, dalam memoarnya Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936), menyebut bahwa biaya haji pada awal 1900-an berkisar antara 500 hingga 800 gulden. Sebagai gambaran, jika harga emas saat itu sekitar 2 gulden per gram, maka 500 gulden setara dengan 250 gram emas.
Dengan harga emas saat ini sekitar Rp1,8 juta per gram, maka 250 gram emas bernilai sekitar Rp434 juta. Artinya, biaya haji sebesar 500 gulden pada awal 1900-an setara dengan kurang lebih Rp434 juta saat ini.
Pada titik ini, para agen travel haji yang dulu disebut syekh haji menawarkan paket ibadah haji berbiaya rendah. Mereka membujuk para calon jemaah melalui tawaran biaya haji yang tak semestinya.
Bagi pemilik dana pas-pasan yang minim pengetahuan, tawaran haji murah jelas terdengar sangat menggiurkan. Banyak calon jemaah langsung menyetujui tawaran dan menyerahkan uang kepada syekh haji.
Mereka berharap bisa segera berangkat ke Tanah Suci. Sayang, mereka tak sadar kalau sedang diperdaya oleh agen travel yang hanya ingin mengambil uang tanpa pernah berniat memberangkatkan mereka.
Dalam praktiknya, para calon jemaah memang diberangkatkan, tapi bukan dengan kapal penumpang yang layak. Namun, pergi menggunakan kapal barang sewaan dengan fasilitas sangat terbatas.
Sejarawan Dien Madjid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008) mencatat, kapal-kapal tersebut tidak memiliki kamar tidur, toilet, hingga perbekalan yang cukup. Namun, para jemaah menerima kondisi itu karena mengira semua adalah hal wajar dan bagian dari ujian menuju rumah Allah.
Kesadaran mulai muncul saat kapal berhenti di titik transit penting kapal-kapal ke Timur Tengah, yakni Singapura. Akibat biaya perjalanan yang murah, syekh haji meminta calon jemaah turun dari kapal, alias tidak melanjutkan perjalanan ke Makkah dan membuat mereka terlantar tanpa kejelasan nasib.
Pada akhir abad ke-19, ada ribuan jemaah yang mengalami nasib sengsara itu. Tahun 1893, misalnya, dalam Laporan konsulat Belanda di Jeddah, seharusnya ada 5.193 jemaah haji asal Indonesia.
Namun, yang kembali ke Tanah Air hanya 1.984. Ribuan orang sisanya tak bisa pulang akibat tipu daya agen haji. Mereka kehabisan uang dan perbekalan.
Haji Singapura
Saat ditelantarkan, para calon jemaah haji memiliki dua pilihan, yakni melanjutkan perjalanan ke Makkah atau pulang ke Tanah Air dengan menanggung rasa malu. Jika memilih melanjutkan perjalanan, maka mereka harus bekerja terlebih dahulu.
Dalam catatan Henry Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013), mereka biasanya bekerja di perkebunan selama berbulan-bulan. Setelah uang terkumpul, barulah mereka bisa meneruskan perjalanan ke Makkah.
Sementara, pilihan pulang ke Tanah Air dilakukan dengan manipulasi sertifikat haji. Para calon jemaah membayar sertifikat yang menyatakan bahwa mereka telah menunaikan ibadah haji.
Padahal, sebenarnya belum pernah sampai ke Tanah Suci. Langkah ini diambil agar mereka tidak dipermalukan saat kembali ke kampung halaman.
Dengan sertifikat palsu tersebut, mereka tetap bisa menyandang gelar "bapak haji" atau "ibu haji", dan menikmati kehormatan sosial yang menyertainya. Orang-orang yang nekat melakukan praktik ini kemudian dikenal dengan sebutan "Haji Singapura".
(mfa/sef)
Saksikan video di bawah ini: