Tsunami Aceh, Banjir Bandang Sumatera: Paradoks Bencana

3 hours ago 2

Oleh : Prof Basuki Supartono; Guru Besar Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, Apakah kita lupa bahwa pada tanggal 26 Desember 2024 pernah terjadi gempa dan tsunami dahsyat di Indonesia. Wilayah Aceh dan sekitarnya hancur porak poranda. Ratusan ribu jiwa meninggal, sebagiannya hilang, luka, dan cacat. Puluhan ribu warga kehilangan keluarga, isteri, dan anak. Mereka kehilangan rumah, pekerjaan, dan harapan. Infra struktur lumpuh, puluhan ribu lahan pemukiman dan pertanian musnah. Bencana alam ini merupakan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Skala kehancurannya melampaui kapasitas daerah dan kesiapan negara saat itu. 

Bencana alam tsunami datang ketika negara baru menapaki alam demokrasi terbuka pasca reformasi 1998. Sementara Aceh masih diliputi suasana konflik. Situasi keamanan ketat, dan keterbatasan ruang gerak kehidupan masyarakat Aceh.  Aceh telah memikul luka sejarah bahkan sebelum bencana alam itu datang. Secara nasional, Indonesia berada dalam transisi kehidupan kenegaraan. Transisi awal yang penuh keterbatasan, instabilitas politik, dan krisis ekonomi. Tsunami Aceh terjadi pada tahun pertama pemerintahan presiden pilihan langsung pertama. Bencana alam dahsyat ini menjadi ujian Indonesia di alam demokrasi terbuka.

Pada saat itu Indonesia belum memiliki badan nasional penanggulangan bencana, dan sistem peringatan dini. Negara belum sepenuhnya siap secara institusional dan kultural. Di tengah keterbatasan itulah nilai kemanusiaan bergerak cepat. Tiada konflik, tanpa polemik atau gincu pencitraan. Ingatan tentang hari-hari awal pascatsunami tetap hidup di sanubari. Malam seteelah tsunai penulis menerima permintaan Menteri Kesehatan  akan kebutuhan mendesak relawan kemanusiaan. Pesan singkat dan tegas. Sebelum fajar para relawan sudah bersiap di Lanud Halim Perdanakusuma. Relawan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) dipimpin almarhum dr. Fuadi Yatim, SpKJ(K) bergabung dengan tim Kementerian Kesehatan. Pagi hari pesawat Hercules mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Landasan pacu terbelah, transportasi darat tidak ada, komunikasi terputus. 

Hari-hari awal di Aceh menjadi ujian fisik, mental, dan kesabaran. Para relawan berjalan kaki dari bandara menuju kota. Di sepanjang jalan, jenazah tergeletak di tepi jalan tanpa sempat dimakamkan. Pemandangan itu bukan sekadar kesedihan, melainkan keheningan yang mengguncang nurani. Relawan bekerja dengan fasilitas sangat terbatas dan jumlah korban yang luar biasa besar. Pada saat yang sama, penulis bertugas menerima, mengoordinasikan, dan menyiapkan bantuan kemanusiaan yang datang dari berbagai penjuru. Puluhan ton bantuan disalurkan melalui jalur darat, laut, dan udara. Ratusan relawan BSMI diberangkatkan secara bertahap. Ambulans, kendaraan off-road, logistik medis, serta peralatan lapangan digerakkan tanpa henti, dengan kesadaran penuh bahwa setiap keterlambatan dapat berarti hilangnya nyawa.

BSMI mendirikan rumah sakit lapangan di Lambaro, Aceh Besar; Trieng Gadeng; Pidie Jaya; dan Bireuen. Rumah Sakit Lamlagang menjadi salah satu pusat layanan kesehatan pada masa tanggap darurat dan pemulihan. Relawan dokter dan relawan lainnya bertugas bergantian, tidak hanya selama tahap awal, tetapi berlanjut hingga beberaoa tahun kemudian dalam program kemanusiaan berkelanjutan. Kerja kemanusiaan tersebut tidak berhenti ketika sorotan media meredup. 

Tsunami Aceh menjadi momentum kemanusiaan dan kebangsaan. Bencana tersebut membuka ruang dialog. Dalam duka bersama, kepentingan kemanusiaan melampaui kepentingan bersenjata, sehingga kepercayaan antara Aceh dan negara perlahan tumbuh kembali. Pada tahun 2005, Perjanjian Helsinki ditandatangani. Konflik bersenjata berakhir. Aceh kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara damai. Bencana alam tersebut melahirkan perubahan penting. Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Keselamatan warga negara ditegaskan sebagai tanggung jawab negara. Selanjutnya dibentuk Badan Penanggulangan Bencana tingkat nasional dan daerah. Tsunami Aceh memperlihatkan kekuatan kolaborasi nasional dan internasional. Pemerintah, TNI, dunia usaha, perguruan tinggi, relawan, organisasi masyarakat, serta komunitas internasional berkolaborasi. Kolaborasi internnasional menjadi energi besar dalam tanggap darurat dan rekonstruksi bencana.  Pengalaman itu semua menjadi pembelajaran penanganan bencana yang damai di daerah konflik. 

Namun dua dekade berselang muncul paradoks menyakitkan. Jika dahulu bencana tsunami murni alam, namun sekarang bencana akibat ulah manusia. Bencana alam seharusnya berkurang namun justeru diproduksi. Kelompok manusia serakah dan pemimpin lalai melindungi rakyatnya. Hukum dan kelembagaan ada namun penghancuran lingkungan hidup dan kelestarian alam justeru semakin masif. Bencana Sumatera karena alih fungsi lahan di hulu sungai. Kegiatan itu atau kegiatan sejenis seperti penambangan menjadi lebih penting dari keselamatan warga. Sungguh ironi. Realita hukum yang tidak berkeadilan. Di titik inilah pertanyaan muncul. Mengapa bangsa ini harus tersandung pada batu yang sama? Mengapa pelajaran mahal dari Aceh tidak menjadi komiten kebijakan yang konsisten? Mengapa, setelah lebih dari dua dekade berselang; bencana alam justru semakin sering diproduksi dengan sengaja? Jawabannya berkaitan dengan kepemimpinan para pemimpin, penegakan hukum, dan etika pembangunan. Keselamatan rakyat dikorbankan atas nama ekonomi, hukum tegak tanpa keadilan. Risiko bencana ditoleransi. Semua ini menggerus kepercayaan publik seperti banjir bandang menggerus rumah, jembatan dan infrastrukktur di Sumatera. Paradoks kebencanaan ini menyimpan bencana kebangsaan. Ketika rasa keadilan sirna maka ketegangan sosial tumbuh bersemi. Isu disintegrasi tidak lahir dari perbedaan ideologi saja namun dari ketidakadilan yang memutihkan mata. 

Tsunami Aceh melahirkan perubahan penting. Undang-undang ditetapkan, lembaga dibentuk, perdamaian tercapai, dan solidaritas tumbuh. Bahkan museum tsunami dibangun di kota Banda Aceh. Namun capaian tersebut tidak bermakna bila tidak dijaga secara nasional, konsisten dan berkelanjutan. Ingatan tentang tsunami Aceh kembali menyentak ketika banjir bandang Sumatera menghancurkan rumah, infrastruktur, dan kehidupan ribuan warga. Bencana hari ini menjadi cermin apakah bangsa ini sungguh belajar dari sejarahnya sendiri. Pada akhirnya, bencana bukan hanya ujian alam, melainkan ujian dari Pencipta alam. 

Ketika bencana datang, sesungguhnya Allah mengingatkan manusia akan batas kekuasaannya. Bangsa yang beriman dan berakal tidak cukup membangun setelah bencana, tetapi wajib mencegah sebelum bencana datang. Dua puluh tahun setelah tsunami Aceh, bangsa ini tidak kekurangan undang-undang, lembaga dan pemimin. Namun bangsa ini kehilangan pemimpin yang menegakkan hukum dan sistem yang adil untuk bangsanya.

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research