Tak Sudi "Dijajah" Amerika, Negara Asia Semakin Berani Buang Dolar

1 day ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Asia semakin mengurangi ketergantungan pada dolar Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal sebagai upaya dedolarisasi.

Merujuk CNBC International, proses dedolarisasi ini didorong oleh kombinasi faktor geopolitik, pergeseran kebijakan moneter global, serta strategi lindung nilai yang dilakukan oleh negara-negara di kawasan.

Ketidakpastian akibat kebijakan perdagangan AS yang berubah-ubah, terutama selama era Presiden AS Donald Trump, serta depresiasi tajam dolar, telah mendorong negara-negara Asia untuk mencari alternatif lain dalam menyelesaikan transaksi internasional.

Salah satu inisiatif regional paling signifikan datang dari ASEAN, yang dalam Rencana Strategis Komunitas Ekonomi 2026-2030 menyatakan komitmen untuk meningkatkan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan investasi.

Tujuannya adalah mengurangi risiko volatilitas nilai tukar dan memperkuat konektivitas pembayaran regional. Langkah ini mencerminkan tekad kolektif untuk membangun sistem keuangan yang lebih mandiri dan stabil.

Negara-negara seperti China, Singapura, Malaysia, dan Taiwan menjadi pelopor dalam inisiatif ini. China secara aktif mempromosikan penggunaan yuan melalui skema swap mata uang bilateral dan pengembangan yuan digital.

Di sisi lain, sektor perbankan dan pelaku usaha di Asia mulai mengalihkan sebagian simpanan dan pembiayaan dalam dolar ke mata uang lokal untuk meminimalkan risiko fluktuasi dan biaya lindung nilai (hedging) yang semakin mahal.

Jika tren ini terus berlanjut, Asia dapat mengalami pergeseran signifikan dalam arsitektur keuangan regional, termasuk munculnya sistem pembayaran lintas negara yang tidak lagi bergantung pada dolar AS.

Meski dolar tetap menjadi mata uang dominan secara global, tren de-dollarization ini menandakan pergeseran strategis yang bisa berdampak besar terhadap perdagangan, investasi, dan stabilitas keuangan di kawasan.

Apakah Dolar Masih Menjadi Raja?

Kendati Asia dan beberapa negara lain sedang mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS (de-dollarization), muncul pertanyaan penting: apakah ini hanya fenomena sementara atau sebuah perubahan struktural jangka panjang?

Menurut Cedric Chehab, Kepala Ekonom di BMI, pergeseran ini saat ini tampaknya masih bersifat siklikal.

Ia menilai bahwa perubahan akan menjadi struktural jika Amerika Serikat mulai lebih agresif menggunakan sanksi ekonomi, sehingga membuat bank sentral negara-negara lain lebih berhati-hati dalam menyimpan cadangan devisa dalam bentuk dolar.

Skenario lain adalah jika pemerintah negara-negara mulai mengarahkan dana pensiun mereka untuk lebih banyak berinvestasi di dalam negeri.

Namun demikian, meskipun beberapa negara mulai mengurangi eksposur terhadap dolar, para pengamat industri menilai sulit untuk menggantikan posisi dolar sebagai mata uang cadangan utama dunia.

"Tidak ada mata uang lain yang memiliki tingkat likuiditas, kedalaman pasar obligasi, dan pasar kredit seperti dolar," kata Francesco Pesole yang merupakan FX strategist di ING.

Menurutnya, yang terjadi adalah penurunan daya tarik dolar sebagai aset cadangan, bukan hilangnya status utamanya.

Peter Kinsella dari Union Bancaire Privée juga menekankan pentingnya membedakan antara pelemahan dolar karena siklus ekonomi dan tren de-dollarization yang lebih dalam. Ia mencatat bahwa dolar telah mengalami fase pelemahan dalam berbagai periode pemerintahan sebelumnya, namun tetap mempertahankan statusnya sebagai mata uang dominan dunia. Bahkan hingga April 2025, lebih dari separuh perdagangan global masih dilakukan dalam denominasi dolar.

Meski begitu, Kinsella menyebut tren penurunan penggunaan dolar sebagai aset cadangan tampaknya akan berlanjut. Dalam kondisi ini, emas diperkirakan akan menjadi penerima manfaat utama dari penurunan dominasi dolar sebagai penyimpan nilai global.

Sebagai catatan, data dari International Monetary Fund (IMF) menunjukkan per kuartal IV-2024, porsi dolar AS menyentuh angka 57,8% sebagai penguasa cadangan devisa global. Ini menunjukkan kepercayaan tinggi terhadap kestabilan dan likuiditas dolar, serta perannya yang sangat besar dalam perdagangan dan sistem keuangan internasional.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tren de-dollarization sedang berkembang di beberapa kawasan seperti Asia, dolar AS masih mendominasi sistem keuangan global sebagai mata uang cadangan utama. Namun, pergeseran bertahap sedang berlangsung dan bisa meningkat jika faktor geopolitik dan kebijakan ekonomi AS berubah drastis di masa depan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research