Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah melarang penggunaan dana kas negara senilai Rp200 triliun yang dialihkan ke bank Himbara digunakan untuk pembelian surat berharga negara (SBN) maupun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Dana tersebut sebelumnya ditempatkan di Bank Indonesia (BI) dan kini dengan kebijakan baru pemerintah yang memindahkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) tersebut ke sistem perbankan dengan tujuan untuk mempertebal likuiditas perekonomi dalam negeri. Sebelumnya, total SAL yang ada di BI mencapai Rp440 triliun.
Menteri keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, tujuan utama dari penempatan dana ini adalah mendorong peredaran uang primer agar bank lebih aktif untuk menyalurkan kredit. Dengan demikian, perekonomian riil diharapkan dapat bergerak lebih cepat dan tidak sekedar terserap di instrumen keuangan.
"Kita sudah bicara dengan pihak bank, janganlah beli SRBI atau SBN. Dana ini harus disalurkan dalam bentuk kredit atau pembiayaan agar ekonomi bergerak," ujar Purbaya di kawasan DPR, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Secara teknis, dana Rp200 triliun itu sudah muilai disalurkan ke lima bank himbara yakni, BRI, Bank Mandiri, BNI yang masing-masing menerima Rp55 triliun. Serta BTN senilai Rp25 triliun dan BSI Rp10 triliun.
Mekanisme ini diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025, dengan skema deposito on call yang memberikan bunga 80,476% dari BI Rate atau setara dengan 4,02% saat ini.
Pemerintah memastikan akan mengawal ketat pergerakan dana tersebut, mulai dari laporan bulanan kepada Menteri Keuangan serta Direktur Jendral Perbendaharaan.
Selain itu, menerapkan manajemen risiko melalui penggunaan mekanisme debit langsung Giro Wajib Minimum (GWM) di Bank Indonesia, apabila Bank Umum Mitra tidak dapat memenuhi kewajiban pengembalian Penempatan Dana.
Kepemilikan SBN oleh Perbankan Sejak 2019-2025
Fenomena perbankan domestik yang rajin memborong SBN pasca pandemi bukan tanpa alasan. Instrumen utang negara ini bukan sekadar "parkir dana aman", tapi juga digunakan untuk menjaga stabilitas bisnis sekaligus memenuhi regulasi.
Setelah pandemi menghantam pada 2020, BI mengguyur sistem keuangan dengan stimulus likuiditas jumbo. Namun, penyaluran kredit ke sektor riil belum pulih cepat karena permintaan terbatas dan risiko kredit tinggi. Akibatnya, bank kebanjiran dana menganggur yang akhirnya dialihkan ke instrumen aman seperti SBN.
Pemerintah yang menghadapi defisit fiskal besar harus menerbitkan lebih banyak SBN. Agar menarik investor, kupon ditawarkan cukup tinggi. Bagi bank, imbal hasil SBN jauh lebih menggoda dibandingkan menaruh dana di deposito BI atau pasar uang. Tak hanya investasi, SBN juga punya fungsi luas bagi bank yakni sebagai sumber pendapatan karena memberikan kupon stabil sehingga menjadi tambahan income di luar kredit.
SBN juga bisa berfungsi sebagai manajemen likuiditas karena bisa dijual di pasar sekunder atau dijaminkan (repo) ke BI.
SBN juga menjadi collateral yakni alat untuk mendapatkan likuiditas instan di pasar uang sekaligus diversifikasi portofolio.
Pada akhir Desember 2020, bank tercatat memegang sekitar Rp1.375,57 triliun atau setara 35,54% dari total SBN yang dapat diperdagangkan. Angka ini naik 137% dibandingkan porsi kepemilikan bank di SBN pada akhir 2019 yang hanya sebesar Rp581,37 triliun.
Angka ini terus naik di 2021 menjadi Rp1.591,12 triliun, bahkan mencapai puncaknya di 2022 sebesar Rp1.697,43 triliun atau setara 31,58% dari total SBN.
Memasuki periode 2021-2023, kepemilikan SBN oleh bank mulai menurun seiring membaiknya kondisi ekonomi dan meningkatnya kebutuhan penyaluran kredit. Bank lebih agresif menyalurkan pembiayaan kepada sektor riil yang mulai pulih, meski tetap mempertahankan sebagian portofolio di SBN sebagai penyeimbang risiko. Tercatat pada akhir 2023, kepemilikan bank turun menjadi Rp1.495,39 triliun.
Penurunan berlanjut hingga akhir 2024 yang mencapai Rp1,051 triliun. Namun, berdasarkan data terakhir 8 September 2025, kepemilikan perbankan di SBN kembali meningkat hingga mencapai Rp1.347 triliun.
Kondisi inilah yang menjadi salah satu alasan pemerintah pada 2025 melarang penggunaan dana kas negara Rp200 triliun untuk instrumen SBN. Pemerintah ingin memastikan dana segar tersebut tidak kembali terkunci dalam aset keuangan, melainkan mengalir ke sektor produktif.
Dengan kebijakan terbaru ini, bank akan terdorong untuk menyalurkan kredit lebih agresif, yang sejalan dengan misi pemerintah untuk menggerakkan roda ekonomi dalam negeri. Kebijakan ini juga menandai pergeseran strategi dari sekadar menahan likuiditas di obligasi pemerintah menuju optimalisasi penyaluran kredit.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)