Ahmad Azzaydan Lubis
Eduaksi | 2025-12-04 11:56:56
Saat ini, iklan barang dan jasa ada di mana-mana. Seolah setiap anak muda yang menggunakan gawai harus melihatnya. Mulai dari aplikasi media sosial seperti Instagram, TikTok, atau bahkan game sekalipun, selalu memunculkan iklan. Tidak hanya itu, promosi berupa tawaran diskon besar, promo kilat, belanja sekarang bayar nanti, atau pinjaman instan dengan bunga “ringan” pun menjadi hal yang biasa diakrabi.
Berbekal fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa anak muda saat ini memang hidup dalam arus yang terus menggiring alam bawah sadar mereka untuk berbelanja. Dapat dikatakan, sifat boros anak muda memang dengan sengaja dikembangkan. Malah, kemudahan untuk pembayaran ditawarkan dengan pinjaman online (PinJol) yang prosesnya sangat mudah yaitu bermodal hasil pemindaian KTP dan wajah. Kemudian secara instan, uang yang dibutuhkan bisa langsung diperoleh. Bandingkan dengan pinjaman konvensional yang ditawarkan oleh bank yang membutuhkan bermacam-macam dokumen seperti slip gaji, atau NPWP. Dari sini seharusnya menjadi ajang berpikir dan bertanya mengapa faktor eksternal direkayasa sedemikian rupa sehingga anak muda dibentuk menjadi pribadi yang konsumtif. Tentunya ada yang lebih besar dari itu.
Algoritma media sosial berperan besar dalam hal ini. Tanpa sadar, kemunculan iklan barang atau jasa dengan marketing yang agresif dan persuasif menciptakan dorongan bukan lagi soal menjaga gengsi atau terlihat “lebih” dari orang lain, tapi lebih pada menyusun cara berpikir konsumtif seperti “Ih promonya gede banget nih pas lah sama uangku” atau, “Wah, ini bagus nih buat outfit-ke kampus.” Anak muda menjadi lebih sering berbelanja bukan karena benar-benar butuh, tapi karena algoritma mengenal kepribadian mereka secara komprehensif, mengidentifikasi profil mereka dan menargetkannya untuk pasar tertentu. Tanpa sadar, mereka terbawa arus konsumserisme yang terus dipompa oleh media sosial. Belum lagi pancingan dari para influencer yang terus menggelitik pemirsanya. Ini menciptakan kecemasan atau kekhawatiran ketinggalan sesuatu yang menyenangkan, penting, atau menarik yang sedang dialami orang lain atau FOMO (fear of missing out).
Fenomena di atas kemudian mendorong anak muda untuk berpikir, “Ya sudah, pinjol aja dulu.” Di titik ini, banyak anak muda yang akhirnya mengambil keputusan finansial yang tentunya tidak dipikirkan matang-matang. Mereka hanya terfokus pada kesenangan dari kemudahan berbelanja instan. Mereka belum paham ada konsekuensi tagihan untuk kemudahan yang mereka pilih. Dan konsekuensi ini adalah jebakan ketergantungan yang sulit dilepaskan.
Menyusul adalah maraknya kasus-kasus yang melibatkan anak muda dan PinJol. Kasus ini terkadang melibatkan orang lain yang tidak merasakan uang hasil pinjaman. Misal, seorang anak muda nekat meminjam KTP orang lain untuk keperluan sederhana namun ternyata untuk digunakan dalam pengajuan Pinjol. Tiba-tiba, tagihan datang dan si pemilik KTP itu baru sadar bahwa namanya sudah tersangkut hutang.
Sebenarnya dampak terburuk dari Pinjol adalah kelipatan suku bunga yang harus dibayarkan dan awamnya masyarakat tentang kelipatan ini. Saat masih duduk di sekolah menengah atas, secara sederhana kita diperkenalkan dengan suku bunga tetap dan majemuk. Terdapat perbedaan diantara kedua suku bunga tersebut. Bunga tetap adalah bunga yang dihitung dari pinjaman awal, sedangkan bunga majemuk adalah bunga yang dihitung dari pinjaman pokok ditambah bunga yang sudah terbentuk. Ini menyebabkan walaupun persentase cicilan PinJol rendah, bunga yang dibayarkan menjadi jauh lebih besar dari yang diperkirakan. Sistem bunga majemuk dipakai dalam Pinjol adalah. Anak muda sebagai bagian dari masyarakat hanya terpaku pada satu hal: uang cepat masuk dan bisa langsung dipakai. Padahal setelahnya, beban hutang menjadi berlipat-lipat.
Data OJK per Juli 2025 menunjukan bahwa total hutang pinjol di Indonesia sudah menyentuh Rp59,1 triliun, dan mayoritas peminjamnya berada pada rentang usia 19–34 tahun. Ini ironi bagi anak muda. Usia ini adalah usia produktif. Namun, karena hidup berdampingan dengan media sosial yang menjadi tempat berbagai iklan, promosi, diskon, dan tawaran hidup “lebih keren” mental generasi muda terganggu dan rusak oleh konsumerisme, kesenangan instan dan kemudahan berhutang.
Kita tidak bisa sepenuhnya menghilangkan media sosial atau menyalahkan generasi muda karena berbelanja. Pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja berasal dari peningkatan kebutuhan dan produksi barang dan jasa. Pinjol pun tidak sepenuhnya buruk. Di negara dengan kondisi ekonomi yang belum merata, masih banyak orang yang memang butuh pinjaman cepat dengan syarat mudah. Tapi seharusnya Pinjol adalah opsi terakhir—bukan opsi pertama. Sama dengan sifatnya yang instan, PinJol seharusnya menjadi solusi jangka pendek. Artinya, penyelesaian Pinjol dapat ditargetkan dalam waktu cepat. Opsi Pinjol bukan untuk kesenangan instan tapi solusi sementara yang harus langsung dapat ditanggulangi.
Melihat kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa generasi muda abai pada kemampuan mengelola keuangan sendiri. Keinginan berbelanja adalah hal yang lumrah dan terkadang menjadi kebutuhan dasar manusia. Ketika kita sudah belajar atau bekerja memberi penghargaan pada diri sendiri bisa menjadi motivasi diri untuk lebih giat. Tapi di sisi lain, generasi muda harus memahami dan jujur bahwa tidak semua keinginan bisa langsung dipenuhi. Ada prioritas dalam memenuhi kebutuhan. Dari sini juga penting dibedakan antara kebutuhan, keinginan, atau sekedar gaya hidup.
Pada akhirnya, saya meyakini bahwa pengendalian diri dan kedekatan pribadi terhadap agama adalah kunci. Pinjol bisa terus ada, iklan bisa terus muncul, influencer bisa terus mempromosikan gaya hidup baru, tapi keyakinan bahwa kesenangan hidup tidak diperoleh dengan instan akan menciptakan kenyamanan yang jauh lebih bermakna dalam hidup. Solusi instan tidak selamanya berujung kesenangan. Tanpa adanya kebijakan, solusi instan adalah beban.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

1 hour ago
1















































