Resolusi DK PBB 2803 tentang Gaza Ilegal dan Ilusi Penyeimbang Rusia-China   

1 hour ago 1

Jenazah warga Palestina tak dikenal yang kembali dari Israel sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata dimakamkan di Deir al-Balah, Jalur Gaza, Jumat, 14 November 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Di tengah genosida yang masih berlanjut meski ada gencatan senjata, dunia internasional kembali dipaksa menyaksikan suatu babak kelam: Dewan Keamanan PBB, badan tertinggi penjaga perdamaian dunia, justru menjadi instrumen yang melegalkan penjajahan.

Pada 17 November 2025, Dewan Keamanan PBB mengesahkan Resolusi 2803 yang mendukung rencana Presiden Trump untuk Gaza, yaitu mengerahkan "Pasukan Stabilisasi Internasional" (ISF) ke Jalur Gaza dan memberlakukan apa yang disebut "Dewan Perdamaian" atau perwalian (trusteeship) yang membuat Gaza berada di bawah kekuasaan de facto Amerika Serikat.

Salah satu mandat utama ISF adalah melucuti Hamas dan faksi-faksi perlawanan lainnya di Gaza. Dengan kata lain, ISF bertugas mewujudkan keinginan Israel, setelah entitas itu gagal mengalahkan Hamas meski sudah bertempur dua tahun sambil melakukan genosida dan penghancuran besar-besaran di Gaza.

Meski secara formal ISF juga diberi mandat melindungi warga sipil dan mendukung bantuan kemanusiaan, sulit berharap pasukan yang berada di bawah kendali Amerika Serikat akan berani menahan Israel ketika Israel sendiri sering mengabaikan ketentuan gencatan senjata dan hukum internasional.

Hamas dan faksi-faksi perlawanan di Gaza telah mengeluarkan pernyataan bersama yang menolak secara tegas rencana Trump dan resolusi Dewan Keamanan tersebut, menyebutnya sebagai bentuk perwalian paksa yang akan membatasi hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan mengelola urusan mereka secara independen.

Mengapa Resolusi 2803 ilegal menurut hukum internasional?

Masalah terbesar dari Resolusi 2803 adalah pelanggarannya terhadap fondasi utama hukum internasional.

Ralph Wilde, pakar hukum internasional dari University College London, menegaskan bahwa resolusi ini secara hukum batal demi hukum (void) karena ultra vires, yakni diambil di luar kewenangan sah Dewan Keamanan menurut Piagam PBB (Middle East Eye, 2025).

Argumennya, pertama, resolusi ini berupaya melegalkan perwalian atau pengelolaan Gaza oleh kekuatan asing padahal pasca Perang Dunia II telah ditolak dan dihapus secara hukum karena bertentangan dengan hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination).

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research