Ramai Akademisi Kritik RKUHAP: Jangan Cuma untuk Kepentingan Aparat

6 hours ago 2

Surabaya, CNN Indonesia --

Sejumlah akademisi menilai draf Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau RKUHAP yang saat ini dibahas DPR dan pemerintah masih problematis secara konseptual dan berpotensi menghilangkan makna norma progresif KUHP.

Pendekatan formalisme yang digunakan RKUHAP, disebut sudah abai pada aspek perlindungan hak serta tidak memberikan pemulihan terhadap pelanggaran prosedur. RKUHAP juga tidak sensitif terhadap keadilan korban.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Pujiyono mengatakan, KUHAP seharusnya bukan hanya untuk kepentingan aparat.

"Aturan itu harus menjamin perlindungan hukum bagi semua pihak, terutama warga negara yang berhadapan dengan proses pidana. Bukan cuma untuk kepentingan aparat," katanya saat Konferensi Nasional Hukum Pidana 2025 di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair) bersama Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPERHUPIKI) di Surabaya, Selasa (15/7).

Ia pun mengusulkan sistem digital dalam penanganan perkara sejak tahap paling awal. Hal itu, menurutnya, sebagai salah satu usulan yang mengakomodir kepentingan semua pihak.

"Usulan ini menekankan pentingnya penerapan sistem informasi berbasis teknologi sejak laporan polisi (LP) hingga tahap penyelidikan dan penyidikan. Mekanisme ini diharapkan dapat membangun transparansi dan akuntabilitas dalam kerangka Single Prosecution Platform (SPP) yang sedang dikembangkan," kata Pujiyono.

Ia pun mengusulkan adanya kewenangan penyidikan tambahan oleh Penuntut Umum dengan jangka waktu yang cukup untuk menyelesaikan dan menentukan tindak lanjut penyidikan. Hal ini menjawab pertanyaan bila gelar perkara mengalami jalan buntu.

"Usulan ini muncul sebagai jawaban atas kekhawatiran publik terhadap praktik tarik-ulur perkara dan pelemahan prinsip due process of law," kata dia.

Dalam konferensi ini, sejumlah tokoh akademik juga menyampaikan kritik mendalam terhadap substansi dan proses legislasi RKUHAP.

Yoes C Kenawas dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), memaparkan hasil survei menunjukkan mayoritas atau 78,3 persen responden menilai perlu adanya batas waktu maksimal untuk penyidikan.

Sebanyak 99 persen responden menyatakan pentingnya kewajiban penyidik untuk memberitahu hak-hak tersangka sejak awal proses hukum. Lebih dari 90 persen responden bahkan menyebut KUHAP saat ini tidak cukup melindungi hak tersangka maupun korban.

"Temuan ini, mempertegas bahwa pembaruan hukum acara adalah kebutuhan sistemik yang sudah dirasakan luas, bukan sekadar wacana di ruang akademik," kata Yoes.

Sementara itu, Ketua ASPERHUPIKI, Fachrizal Afandi menilai pembaruan KUHP telah mengadopsi semangat keadilan restoratif, perlindungan korban, dan pengakuan terhadap kelompok rentan.

Namun sebaliknya, draf RKUHAP menurutnya, justru masih mempertahankan pendekatan lama yang terlalu menitikberatkan pada dominasi aparat penyidik, minim pengawasan yudisial, dan belum membuka ruang bagi jaksa sebagai dominus litis.

Fachrizal menyampaikan jika RKUHAP tetap disahkan dalam bentuk saat ini, maka berbagai norma progresif dalam KUHP seperti pidana kerja sosial, pidana pengawasan, hingga pengakuan atas pidana korporasi akan kehilangan makna.

"Karena tidak didukung dengan prosedur hukum acara yang kompatibel. KUHP dan KUHAP adalah dua sisi dari satu sistem yang tidak bisa dibangun secara terpisah dan bertentangan," kata Fachrizal.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Unair Iman Prihandono menegaskan sistem hukum pidana yang baik hanya dapat berjalan apabila substansi hukum (KUHP) dan prosedur hukum (KUHAP) saling bersinergi.

Menurutnya, hukum acara pidana bukan semata-mata dokumen teknis, tetapi merupakan jaminan keadilan dan perlindungan hak asasi manusia bagi setiap warga negara.

Di sisi lain, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia UI), Harkristuti Harkrisnowo mencontohkan bagaimana KUHP baru berhasil mereformulasi beberapa delik seperti penghinaan presiden, perzinahan, hingga memperluas pengertian perkosaan secara gender netral.

"Namun semua kemajuan normatif tersebut tidak akan berdampak bila tidak disertai dengan instrumen prosedural yang mendukung di dalam RKUHAP," katanya.

Kendati pernah menjadi anggota tim ahli pemerintah dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), Harkristuti secara terbuka menyatakan tidak bertanggung jawab atas draf RKUHAP yang saat ini dibahas DPR.

Harkristuti mengaku ragu masukan tim ahli pernah benar-benar dipertimbangkan dalam penyusunan akhir. Proses legislasi RKUHAP dipandangnya cenderung tertutup, tidak partisipatif, dan menjauh dari pendekatan akademik yang seharusnya menjadi dasar perumusan undang-undang sebesar KUHAP.

Pemerintah dan DPR mengebut pembahasan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau RKUHAP.

Bahkan, Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR hanya membutuhkan waktu dua hari saja untuk menyelesaikan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah yang berisi 1.676 poin usulan untuk materi RKUHAP.

DPR menargetkan pembahasan tersebut rampung pada bulan September, sementara pemerintah mengusulkan Undang-undang ini mulai berlaku pada 2 Januari 2026, bersamaan dengan pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

(frd/dal)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research