Perang Timur Tengah Memanas, Saham Minyak Terbang ke Utara!

10 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham di segmen minyak dan gas (migas) makin terbang ke utara pada perdagangan Senin hari ini (16/6/2025). Ini karena efek perang yang memanas antara Israel-Iran, ditambah dari internal ada revisi pajak terkait kontrak gross split.

Pada pembukaan hari ini, mayoritas saham minyak dibuka di zona positif. Sampai pukul 10.00 WIB. Saham PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) hari ini melesat paling kuat sampai lebih dari 20% sejak pembukaan, kemudian diikuti saham PT Logindo Samudramakmur Tbk (LEAD) yang menguat dikisaran 12%.

Llalu diikuti emiten migas lain seperti PT Wintermar Offshore Marine Tbk (WINS), PT Medco Energi International Tbk (MEDC), PT Apexindo Pratama Duta Tbk (APEX), PT Elnusa Tbk (ELSA), dan PT ESSA Industries Indonesia Tbk (ESSA). Berikut rinciannya :

Saham minyak terbang seiring dengan harga jual minyak mentah dunia melesat akhir-akhir ini, terdorong sentimen ketegangan geopolitik yang memanas di kawasan Timur Tengah, utamanya antara Israel dan Iran.

Pada Jumat akhir pekan lalu (13/6/2025), Israel secara resmi melancarkan serangan besar-besaran ke Iran. Ini membuat harga minyak langsung melesat lebih dari 7% dalam sehari, baik itu untuk jenis Brent maupun West Texas Intermediate (WTI).

Berlanjut pada Senin hari ini (16/6/2025) sampai pukul 10.20 WIB, harga minyak naik lagi di kisaran 1%. Untuk jenis Brent terpantau berada di posisi US$ 74,93 per barel, sementara harga minyak WTi ke level US$ 73,83 per barel.

Kenaikan harga minyak ini semakin mendekati posisi tertinggi-nya di pertengahan Januari sekitar level US$ 80 per barel.

Kenaikan harga minyak terjadi karena kekhawatiran akan pasokan setelah Iran diserang Israel. Perlu diketahui, Iran merupakan produsen terbesar ketiga OPEC+ dengan produksi sebesar 3,3 juta barrel per hari, setara 3,5% dari total produksi global.

Hampir seluruhnya produk minyak Iran ini dijal ke China. Melansir New York Times, Tiongkok memiliki cadangan minyak strategis yang besar dari hasil akumulasi pembelian lebih dari 10 tahun terakhir. Hal ini sudah membantu China untuk bertahan beberapa pekan dari gangguan pasokan minyak global.

Revisi Skema Kontrak Gross Split Migas

Selain soal harga minyak yang naik terus karena sentimen eksternal yang berasal dari ketegangan geopolitik. Segmen migas turut mendapat dukungan pemerintah dari prospek revisi skema kontrak gross split.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) membeberkan pemerintah saat ini menerapkan dua skema kontrak. Terutama dalam pengelolaan wilayah kerja (WK) minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia.

Adapun, kedua skema kontrak tersebut diantaranya yakni Production Sharing Contract (PSC) dengan mekanisme Cost Recovery dan PSC dengan mekanisme Gross Split.

Skema Cost Recovery

Kepala SKK Migas, Djoko Siswanto menjelaskan bahwa skema Cost Recovery sejatinya sudah lama diterapkan di Indonesia. Skema ini mengatur bahwa sebelum Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mendapatkan bagiannya, pemerintah terlebih dulu mengambil First Tranche Petroleum (FTP) dengan besaran 5%-20%.

"Jadi, dari gross production itu sebelum kita potong untuk pembayaran biaya, kita ambil dulu semacam royalti begitu. Kita kenal kalau di oil and gas adalah first trans petroleum. Kalau di pertambangan itu royalti," ujar Djoko dalam RDP bersama Komisi XII DPR RI, Kamis (27/2/2025).

Menurut Djoko, FTP dapat langsung masuk 100% ke kantong pemerintah atau dibagi antara pemerintah dan kontraktor. Hal ini tergantung dari besaran nilai produksi dan kesepakatan yang ada di dalam kontrak.

Setelah FTP tersebut dipotong, seluruh biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor akan dikembalikan melalui mekanisme Cost Recovery sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Setelah itu baru dibagi sesuai dengan perjanjian pembagian splitnya. Nah, pada umumnya untuk minyak itu negara dapat 85 persen, kontraktor dapat 15 persen. Tapi saat-saat ini itu cenderung kontraktor lebih besar karena kita bersaing dengan negara-negara lain," tambah Djoko.

Sementara itu, untuk gas, negara mendapatkan 70%, dan kontraktor mendapatkan 30%. Namun, saat ini kontraktor dapat mendapatkan bagian yang lebih besar karena persaingan dengan negara tetangga dalam memperebutkan investasi.

Lebih lanjut, dalam skema Cost Recovery, kontraktor juga diwajibkan menjual sebagian produksi mereka ke pasar domestik melalui mekanisme Domestic Market Obligation (DMO). Adapun, besaran DMO saat ini adalah 25% dari bagian kontraktor dengan mengikuti harga pasar.

"Itu volumenya sebesar 25 persen juga, itu wajib dijual ke dalam negeri yang bagian kontraktor. Nah, untuk gas itu negara dapat 51 persen, di awal kontraktor dapat 50 persen," kata dia.

Skema Gross Split

Sementara, pada skema Gross Split, sistem bagi hasil migas lebih sederhana dibandingkan dengan Cost Recovery. Dalam skema ini, hasil produksi langsung dibagi antara pemerintah dan kontraktor berdasarkan persentase yang telah ditetapkan, tanpa ada mekanisme penggantian biaya produksi.

"Nah, untuk base split-nya itu kalau untuk konvensional, negara langsung dapat 53 persen, kontraktor 47 persen. Semua biaya ditanggung oleh kontraktor. Nah, kontraktor itu di samping setelah membayar biaya sesuai dengan yang kontraktor keluarkan juga nanti profitnya kena pajak," kata dia.

Selain itu, DMO dalam skema Gross Split juga sudah sepenuhnya mengikuti harga pasar. Besaran volumenya tetap 25% dari bagian kontraktor. Adapun untuk gas, bagian negara dalam skema ini adalah 51%, sedangkan kontraktor mendapatkan 49%.

Meski demikian, Djoko juga membeberkan adanya mekanisme sliding scale, di mana kontraktor bisa mendapatkan tambahan split berdasarkan beberapa faktor. Salah satunya seperti lokasi yang berada di daerah remote.

"Itu tergantung dari jumlah cadangan, kemudian lokasi cadangan. Makin sulit, makin di laut dalam, makin di daerah remote, maka kontraktor akan mendapat tambahan split dari 47 persen split yang di awal. Juga harga minyak. Makin harga minyak rendah, maka kontraktor akan mendapatkan tambahan split yang lebih besar," katanya.

Untung Rugi Skema Gross Split Vs Cross Recovery

Kalau mengggunan strategi cost recovery, untungnya bisa lebih aman bagi kontraktor karena biaya bisa diclaim kembali ke pemerintah. Bisa juga lebih prudent dan menarik untuk membiaya proyek dengan nilai tinggi. Namun, ada minus-nya, karena proses administrasi dinilai lebih rumit kaibat SKK Migas harus diverifikasi tiap pengeluaran, jatunya jadi lebih borong dan tidak urgensi efisiensi.

Dibandingkan itu, untuk kontrak gross split proses administrasi dinilai lebih sederhana, jadi mendorong efisiensi dan efektif biaya karena kontraktor bisa tanggung risiko sendiri. Tapi, akan sangat berisiko kalau sampai proyek gagal karena tidak bisa diklaim.

Djoko juga menilai kedua skema ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung pada keinginan kontraktor.

"Nah, beberapa investor yang senang gross split itu mengatakan pengadaan misalnya barang dan jasanya itu bisa lebih cepat, karena tidak perlu mendapatkan approval dari SKK Migas," ujarnya.

Jadi, secara keseluruhan, kontraktor lebih senang dengan kontrak gross split ini. Dan yang lebih menarik soal revisi skema gross split pada Oktober 2024 lalu, ada dengan kepastian bagi hasil untuk kontraktor bisa mencapai 75% - 95%.

Dalam kontrak gross split lama, bagi hasil kontraktor bisa sangat rendah bahkan sampai nol persen. Pada tahun ini, SKK Migas kembali membocorkan akan ada rencana kembali merevisi kontrak gross split.Hal ini tentu dianggap akan menguntungkan emiten migas dan penunjang-nya, tentunya jika berjalan lancar.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.


CNBC INDONESIA RESEARCH

(tsn/tsn)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research