Jakarta, CNBC Indonesia- Harga minyak dunia terus menunjukkan reli tajam dan menguat nyaris tanpa henti selama sepekan terakhir. Di tengah memanasnya konflik antara Iran dan Israel, pasar mulai bertanya-tanya seberapa tinggi harga minyak bisa naik? Beberapa proyeksi bahkan menyebut angka hingga US$130 per barel, bila Selat Hormuz benar-benar terganggu.
Data Refinitiv mencatat harga minyak Brent kontrak Agustus naik ke US$74,94 per barel pada penutupan Senin (16/6/2025), naik 0,96% dari akhir pekan lalu. Sementara itu, minyak WTI kontrak Juli ditutup di US$73,80 per barel, menguat 1,12%.
Harga sempat melonjak lebih tinggi di perdagangan intrahari, menyentuh level US$78,50 untuk Brent dan US$77,62 untuk WTI tertinggi sejak Januari 2025.
Serangan Israel ke Jantung Energi Iran Jadi Titik Balik
Katalis utama lonjakan harga datang dari serangan udara Israel terhadap fasilitas gas South Pars dan kilang di Tehran. Lokasi tersebut bukan sekadar simbol, tapi tulang punggung pasokan energi Iran. Sebagai respons, Iran meluncurkan puluhan rudal ke Haifa dan Tel Aviv, memicu kekhawatiran konflik bisa merembet ke kawasan Teluk.
Ketegangan meningkat tajam pada Minggu (15/6/2025), ketika serangan balasan terjadi bertubi-tubi. Data ABC News menyebut sudah lebih dari 100 drone Iran diluncurkan sejak Jumat, dengan dampak yang menewaskan ratusan dan melukai ribuan orang di kedua negara.
Selat Hormuz jalur pengiriman sekitar 20% minyak dunia menjadi titik genting. Iran dilaporkan mempertimbangkan opsi untuk menutup jalur ini sebagai bentuk tekanan balik. JPMorgan menyebut, jika skenario penutupan penuh Selat Hormuz terjadi, harga minyak bisa melonjak ke kisaran US$120-130 per barel.
Meski tetap mempertahankan proyeksi harga Brent di kisaran US$60 per barel untuk 2025 dan 2026.
JP Morgan mengingatkan bahwa dalam skenario terburuk jika perang Israel-Iran benar-benar mengarah pada penutupan Selat Hormuz yang menjadi jalur sepertiga ekspor minyak dunia harga minyak bisa melesat ke level ekstrem, yakni antara US$120 hingga US$130 per barel.
Peringatan ini disampaikan dalam laporan resmi bank investasi asal AS tersebut pada Kamis (12/6/2025), sebagaimana dikutip dari oilprice.com, di tengah memanasnya ketegangan geopolitik yang melibatkan Iran, Israel, dan Amerika Serikat.
Lonjakan harga minyak juga tercermin dari pasar derivatif. Selisih kontrak opsi Brent Desember naik signifikan menjadi US$3,48 indikasi bahwa trader menyiapkan skenario harga tinggi berkepanjangan. Volume perdagangan pun melonjak tajam, menandakan akumulasi posisi spekulatif atas risiko pasokan global.
Di saat bersamaan, harga emas dan dolar AS juga naik sebagai bentuk pelarian ke aset aman (safe haven), mencerminkan ketidakpastian pasar yang belum usai. Reli minyak sudah berlangsung sejak Jumat (13/6/2025), ketika Brent dan WTI melesat lebih dari 7% dalam sehari. Sepanjang pekan lalu, minyak mencatatkan kenaikan mingguan terbesar dalam dua tahun terakhir 13% untuk WTI.
Risiko Volatil Tetap Ada, Pasokan Fisik Belum Terganggu
Meski ketegangan tinggi, analis mengingatkan bahwa belum ada gangguan nyata terhadap arus fisik minyak. Arab Saudi dan UEA masih bisa mengalihkan ekspor lewat jalur Laut Merah dan pelabuhan Fujairah. Bahkan, OPEC+ masih menyimpan kapasitas cadangan untuk meredam gejolak, bila diperlukan.
Namun, seperti dicatat Barclays dan SEB Energy, jika konflik menjalar ke fasilitas pengilangan atau ekspor minyak Iran ke China terganggu, pasar bisa bergerak lebih liar. Dalam jangka pendek, volatilitas tetap tinggi dan reli harga masih punya ruang untuk berlanjut.
Pasar kini masuk fase yang disebut "controlled confrontation" oleh analis Lombard Odier konflik intens, tapi belum meluas. Artinya, lonjakan harga bisa terjadi secara bertahap, bukan meledak dalam sehari. Tapi jika ada sinyal nyata Hormuz terganggu, pasar bisa panik dalam semalam.
Selama perang terus bereskalasi dan menyasar jantung infrastruktur energi, pasar minyak global akan tetap berada di zona merah: antara volatil, mahal, dan waspada.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(emb/emb)