Penjualan Mobil Terpuruk, Sinyal Darurat Industri Otomotif!

1 day ago 7

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri otomotif dalam negeri masih menunjukkan kelesuan seiring dengan menurunnya penjualan kendaraan bermotor, terutama di segmen mobil. Di samping pelemahan permintaan domestik, tekanan dari faktor eksternal seperti perang dagang juga turut membebani kinerja sektor ini.

Merujuk data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) pada Mei 2025, penjualan mobil secara wholesales atau dari pabrik ke dealer tercatat sebanyak 60.613 unit. Angka ini turun 15,1% secara tahunan (yoy) atau dari bulan yang sama tahun sebelumnya sebanyak 71.391 unit.

Sementara itu, data penjualan mobil sejak awal tahun sampai Mei tercatat 316.981 unit. Realisasi ini juga turun hingga 5,5% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebanyak 335.405 unit.

Berdasarkan grafik di atas, penjualan mobil dari periode Januari - Mei selalu turun dalam tiga tahun beruntun. Bahkan untuk posisi Mei 2025 secara year-to-date (YTD) di bawah posisi terendah pada 2021 silam sebanyak 320.746 unit.

Sementara, jika ditarik secara historis sejak 2017, kinerja penjualan mobil terendah terjadi pada masa pandemi Covid-19, yakni pada tahun 2020, dengan total penjualan sebanyak 248.309 unit.

Faktor Domestik Tekan Penjualan Mobil

Lesunya penjualan mobil ini seiring dengan tekanan dari permintaan domestik yang lemah. Ini berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat dan daya beli masyarakat yang belum kunjung pulih.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang tiga bulan pertama pada tahun ini, kita mengalami pertumbuhan ekonomi hanya 4,87% secara tahunan (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan kuartal I/2024 sebesar 5,11% yoy. Sementara secara kuartalan terkontraksi 0,98%.

Daya beli masyarakat juga masih belum pulih tercermin dari indeks harga konsumen (IHK) yang kembali deflasi secara bulanan sebesar 0,37% pada Mei 2025.

Perang Dagang Jadi Tantangan Industri Otomotif

Selain faktor domestik, industri otomotif juga mendapat tekanan dari eksternal berupa perang dagang yang terjadi antara AS dan berbagai negara.

Terkhusus dengan China, ini menjadi pukulan bagi industri otomotif seiring dengan kekuatannya dalam pasokan logam tanah jarang di dunia.

Sang Naga Asia ini memiliki cengkeraman kuat pada pasokan logam tanah jarang dunia, dengan kendali yang hampir penuh atas proses pemurnian, sehingga membuat mineral tersebut bermanfaat. China memproduksi sekitar 90% magnet logam tanah jarang, sehingga mengontrol rantai pasokan global.

Logam tanah jarang menjadi bahan penting untuk pembuatan kendaraan bermotor, terutama untuk kendaraan listrik (EV).

Selain itu, perang dagang yang terjadi saat ini juga mendapat tantangan dari efek inflasi dan suku bunga tinggi yang membuat ekspor otomotif menurun.

Industri Butuh Bantuan dari Pemerintah

Pemerintah diminta memahami kondisi dan kebutuhan industri manufaktur nasional. Dengan menerapkan kebijakan yang sesuai kondisi industri terkait, seperti kebijakan menutup dan membuka keran impor.

Termasuk dalam hal ini adalah impor mobil. Saat ini, baik mobil listrik maupun mobil bensin yang beredar-dijual di Indonesia ada yang masih diimpor sepenuhnya dan utuh alias completely built up (CBU). Jika dibiarkan terus, akan semakin menekan industri terkait yang ada di dalam negeri.

Sementara itu, penjualan mobil nasional seperti tak mampu mempertahankan capaian positif sampai Mei 2025. Kondisi penjualan mobil yang semakin lesu ini pun memicu kekhawatiran. Sebab, efek domino-nya akan menimpa industri lain, salah satunya industri plastik dan petrokimia di Tanah Air.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan, industri otomotif berkontribusi 15% terhadap pasar industri plastik dari hulu ke hilir. Karena itu, kata dia, penjualan mobil yang anjlok akan berdampak bagi industri plastik nasional, dari hulu (petrokimia) hingga ke hilir.

"Di mobil itu, konsumsi plastiknya 50-100 kg per unit. Kalau penjualan motor kan memang sudah pasti tak sampai 8 juta unit. Mobil kita harapkan 800.000-an unit tahun ini. Tapi kalau sebulan kemarin pun hanya 50.000-an unit, bisa jadi 750.000 unit pun bakal susah tahun ini. Nah ini dampaknya nanti ke industri komponen," katanya kepada CNBC Indonesia, Rabu (14/5/2025).

"Kemungkinan kondisi di tahun 2026 juga akan susah. Kalau misal sama dengan tahun 2025, masih oke. Tapi bisa lebih buruk. Industri auto parts (komponen otomotif) kemarin masih terbantu penjualan mobil, tapi sekarang sudah tidak lagi," ucapnya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(tsn/tsn)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research