Paus Leo Kritik Islamofobia di Barat, Jadikan Lebanon Contoh Harmoni

2 hours ago 2

Paus Leo XIV yang baru terpilih melambaikan tangan kepada umat yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus, Kamis (8/5/2025). Kardinal Robert Prevost terpilih sebagai Paus pertama dari AS dengan nama Leo XIV pada masa kepausannya. Prevost adalah seorang kardinal kuria berusia 69 tahun, yang dikenal dekat dengan mendiang Paus Fransiskus. Ia terpilih menjadi paus ke-267 Gereja Katolik pada hari kedua konklaf yang berlangsung di Kapel Sistina, Vatikan, Kamis (8/5/2025). Terpilihnya Paus baru ditandai dengan asap putih yang mengepul dari cerobong asap Kapel Sistina sekitar pukul 18.00 waktu setempat (23.00 WIB).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Paus Leo XIV mengeluarkan kritik tajam terhadap meningkatnya sentimen anti-Muslim di Eropa dan Amerika Serikat. Ia menilai ketakutan terhadap Islam kerap dipicu oleh gerakan anti-migran yang menolak keberagaman dan mendorong pengusiran pendatang dari latar negara, agama, maupun ras yang berbeda.

Dalam percakapan dengan wartawan di pesawat, Selasa (2/12/2025) setibanya dari kunjungan ke Turki dan Lebanon, Paus mengatakan bahwa narasi ketakutan terhadap Muslim telah mengaburkan potensi dialog antaragama. 

Kunjungan itu merupakan perjalanan internasional pertama sejak ia terpilih sebagai pemimpin 1,4 miliar umat Katolik dunia pada Mei lalu.

“Sentimen anti- Muslim seringkali muncul dari orang-orang yang menentang imigrasi dan berusaha mengusir orang-orang yang mungkin berasal dari negara lain, agama lain, atau ras lain,” ujar Paus berusia 70 tahun tersebut dilansir dari Hurriyetdailynews, Kamis (4/12/2025).

Ia menegaskan bahwa Lebanon seharusnya menjadi contoh bagi Eropa dan AS dalam membangun relasi harmonis antara umat Kristen dan Muslim. Selama kunjungan, Paus mengaku mendengar banyak kisah tentang masyarakat kedua agama yang saling membantu dalam kehidupan sehari-hari.

“Itu pelajaran… bahwa mungkin kita harus sedikit mengurangi rasa takut,” ucapnya.

Paus Leo XIV, yang lahir di Amerika Serikat dan pernah menjadi misionaris selama dua dekade di Peru bersama ordo Augustinian, juga menyoroti bangkitnya nasionalisme di berbagai negara Barat. Ia mengecam perlakuan tidak manusiawi terhadap para migran di bawah pemerintahan Presiden AS Donald Trump.

Lebih jauh, ia menyerukan umat Katolik di seluruh dunia untuk menolak “pola pikir eksklusif” yang dinilai menjadi akar pertumbuhan nasionalisme global. Menurutnya, Gereja Katolik harus berperan aktif dalam membuka batas-batas sosial dan meruntuhkan tembok pemisah antarkelas maupun ras.

“Gereja harus membuka batas-batas antara masyarakat dan meruntuhkan penghalang antara kelas dan ras,” katanya.

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research