Jakarta -
Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengungkapkan nasib perkembangan terbaru proyek satelit Satria-2, di mana di saat bersamaan Indonesia mulai marak berdatangan satelit low earth orbit (LEO).
Sebagai informasi, setelah kedatangan Starlink pada tahun lalu, nanti Indonesia kehadiran lagi satelit LEO lainnya, yakni Amazon Kuiper. Satelit LEO ini dinilai lebih efisien dalam menyediakan akses internet dibandingkan yang jenis satelit Geostasionary Earth Orbit (GEO).
Ketika bertemu dengan awak media di Kantor Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Meutya mengatakan pemerintah masih mengkaji proyek Satria-2 terlebih dahulu saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau untuk Satria-2 itu sedang dalam kajian ya, karena sebelumnya itu kita mengandalkan Satria-1 saja itu satu pilihan. Kalau sekarang kan ada ada pilihan lain itu low earth orbit, seperti Starlink dan lain-lain, yang memang lebih bagus. Tapi, sekarang kita punya Satria-1, tapi kita mitigasi keperluan ke depan," ujar Rabu (5/6/2025).
Untuk diketahui, sebelumnya Satria-2 akan didesain sebagai twin satellite atau satelit kembar, yakni Satria-2A dan Satria-2B. Berbeda dengan satelit pendahulunya, Satria-2 mempunyai kapasitas lebih besar mencapai 300 Gbps yang akan membantu penyediaan konektivitas, khususnya di daerah terpencil yang masih belum tersedia akses sinyal internet.
Ketika ditunjuk sebagai Menkomdigi di Pemerintahan Prabowo Subianto, Meutya mempunyai agenda besar salah satunya agar akses internet merata di Tanah Air. Kombinasi satelit bisa menjadi solusi dalam menyediakan konektivitas tersebut.
"Ada kemungkinan kita kombinasi antara Satria-1 dan Satria-2, kemudian di daerah mananya itu pakai LEO dan sebagainya," jelasnya.
Sebelumnya pada awal 2024, Direktur Utama Bakti Kominfo Fadhillah Mathar mengatakan Satria-2 memang diupayakan untuk dibangun agar dapat mendukung konektivitas dari Satria-1 yang sebelumnya sudah beroperasi dengan menggunakan skema pendanaan loan agreement.
Wanita yang akrab disapa Indah itu mengatakan karena skema pinjaman luar negeri maka besar kemungkinan Satria-2 paling lambat pengadaannya jatuh pada 2025. Hal itu dikarenakan tahapan pinjaman luar negeri memiliki skema yang berbeda dengan pendanaan menggunakan APBN rupiah murni.
Adapun, nilai investasi pembangunan untuk Satria-2 diperkirakan akan memakan biaya sekitar USD 860 juta dolar (Rp 13,3 triliun).
(agt/agt)