MK Kabulkan Sebagian Gugatan Hukum UU ITE soal Kerusuhan Ruang Siber

7 hours ago 8

Jakarta, CNN Indonesia --

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi UU ITE yang diajukan jaksa Jovi Andrea Bachtiar.

Jovi adalah jaksa yang menjadi terdakwa kasus pencemaran nama baik yang divonis enam bulan percobaan.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan perkara nomor: 115/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Selasa (29/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam putusan itu, MK menyatakan kata 'kerusuhan' dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber'.

Pasal 28 ayat 3 UU ITE sebelumnya berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat."

Sedangkan Pasal 45A ayat 3 UU ITE berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00."

MK juga menyatakan permohonan pemohon sepanjang frasa 'dilakukan demi kepentingan umum' dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a UU 1/2024 serta frasa 'melanggar kesusilaan' dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) UU 1/2024 tidak dapat diterima.

Pasal 45 ayat (2) huruf a UU ITE berbunyi: "Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipidana dalam hal: a. dilakukan demi kepentingan umum;"

Pasal 27 ayat (1) berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."

Sedangkan Pasal 45 ayat (1) berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00."

Sebelumnya diberitakan, Jaksa Jovi diproses hukum atas kasus dugaan pencemaran nama baik. Dia mulanya dilaporkan ke kantor Kepolisian Resor Tapanuli Selatan dengan dugaan pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, dan/atau mendistribusikan Informasi Elektronik mengandung kesusilaan.

Dia diseret kasus pidana hanya karena mengkritik seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) formasi jabatan Pengawal Tahanan pada Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan agar tidak menggunakan mobil dinas Kepala Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan tanpa disertai adanya Surat Perintah dan Akta Pengawasan Melekat apalagi untuk kepentingan pribadi.

Atas perbuatannya itu, Jaksa Jovi divonis dengan pidana percobaan selama enam bulan.

Pasal karet

Dalam perkara tersebut, pada pertimbangannya, MK pada pokoknya telah menegaskan berkenaan dengan unsur "berita atau pemberitahuan bohong" dan "kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan" dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 merupakan norma yang hakikatnya ditempatkan untuk pembatasan dalam mengeluarkan pendapat secara merdeka di ruang publik.

Dalam penilaian MK, unsur "berita atau pemberitahuan bohong" dan "kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan" yang termuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 menjadikan norma dalam Pasal-pasal a quo sebagai "pasal karet" (mulur mungkret) yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum.

Selanjutnya, berkenaan dengan unsur "onar atau keonaran" yang termuat dalam Pasal 14 UU 1/1946, penggunaan kata "keonaran" dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 berpotensi menimbulkan multitafsir. MK menilai antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda, demikian pula akibat yang ditimbulkan.

Dengan demikian, mahkamah menilai terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran patut atau tidaknya pelaku dijerat dengan tindak pidana.

Kemudian unsur "onar atau keonaran" yang termuat dalam Pasal 14 UU 1/1946, juga sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi yang saat ini berkembang dengan pesat saat ini. Menurut mahkamah masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, khususnya media sosial.

Dengan demikian, dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat dan kritik berkenaan dengan kebijakan pemerintah di ruang publik, harus disikapi sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari partisipasi publik. Itu menurut mahkamah jangan serta merta dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran yang dapat dikenakan proses pidana oleh aparat penegak hukum.

MK menyatakan UU 1/1946 menitikberatkan tindakan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. Namun, sambungnya, hal itu dilakukan tanpa memastikan apakah berita bohong yang menimbulkan keonaran tersebut terjadi di masyarakat dalam ruang fisik atau bukan ruang fisik.

Akibatnya menurut MK, keonaran yang terjadi tidak di ruang fisik juga dapat dikenakan UU 1/1946.

Di sisi lain, hal itu berbeda dengan yang diatur dalam UU 1/2024 yang hanya meliputi akibat pemberitahuan bohong berupa kerusuhan yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik.

Menurut MK, pengaturan tindakan menyebarkan berita/pemberitahuan bohong dengan menggunakan sarana teknologi informasi yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di masyarakat sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 telah ternyata menciptakan ketidakpastian hukum ketika dikaitkan dengan penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024.

MK menyatakan penjelasan pasal itu menyatakan yang dimaksud dengan "kerusuhan" adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital atau siber.

"Artinya, penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 telah memberikan pembatasan yang jelas bahwa penyebaran pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan yang secara fisik terjadi di masyarakat, tidak termasuk keributan atau kerusuhan yang terjadi di ruang digital atau siber," ucap hakim MK.

(ryn/kid)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research