Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah berbagai masalah belakangan ini, banyak orang ingin pergi dari Indonesia dan tinggal di luar negeri. Keputusan pergi dari Indonesia sebenarnya sudah dilakukan banyak orang secara pribadi, tak terkecuali pernah dialami oleh pejabat dan begawan ekonomi Indonesia, Sumitro Djojohadikusumo dan keluarganya.
Sumitro Djojohadikusumo merupakan Menteri Perdagangan dan Perindustrian (1950-1951) dan Menteri Keuangan (1952-1953). Dia juga loyalis dekat Presiden Soekarno dan ikut merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi di Indonesia.
Meski begitu, di tengah jalan, Sumitro berseberangan dengan pemerintah. Dia menyatakan diri tergabung dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera. PRRI merupakan gerakan protes dari Sumatera Barat atas sikap pemerintah pusat yang sangat sentralisasi dan melupakan daerah.
Sejarawan Audrey Kahin dalam Dari pemberontakan ke integrasi Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998 (2005) menyebut, saat PRRI dideklarasikan pada 15 Februari 1958, Sumitro yang dahulu kader Partai Sosialis Indonesia (PSI) diangkat menjadi Menteri Perdagangan dan Perhubungan.
Tak lama setelah deklarasi, pemerintah pusat meradang. Mereka langsung bersikap represif kepada para pemberontak di Sumatera Barat. Para anggota kabinet yang terlibat langsung diberi perintah penahanan, termasuk juga kepada Sumitro. Ini terjadi karena pemerintah pusat menganggap gerakan tersebut mengkhianati kemerdekaan.
"Di mata mereka, itu mengkhianati tujuan kemerdekaan yang dituju oleh pusat dan daerah sejak tahun-tahun awal abad ini," ungkap Audrey Kahin.
Pada sisi lain, Sumitro beranggapan perjuangannya di PRRI merupakan upaya menuntut keadilan bagi daerah. Sebab, sejak awal merdeka, anggaran untuk daerah sangat kecil. Padahal, aliran dana dari daerah ke pusat lumayan besar.
"Dalam hati Sumitro mengeluh "mereka berkuasa dan hendak menguasai daerah melalui anggaran," tulis biografi resmi Sumitro, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2001).
Selama aktif di PRRI, Sumitro secara pribadi tak lagi hidup sendirian. Dia sudah punya 4 anak dari pernikahannya dengan Dora Sigar: Bianti, Maryani, Prabowo, dan Hashim. Namun, kehidupan Sumitro di Indonesia pasca-PRRI tak lama.
Dia pindah ke luar negeri demi menggalang dukungan internasional. Akibat sudah berkeluarga, pada pertengahan 1957, dia juga membawa anak dan istri ke luar negeri. Singkat cerita, upaya PRRI gagal dan diredam pemerintah.
Pada titik ini, Sumitro tak bisa pulang ke Indonesia sebab jika nekat pulang kampung maka dirinya bakal ditahan Presiden Soekarno. Alhasil, dia dan keluarga memutuskan untuk tinggal di luar negeri lebih lama.
Tercatat, mereka pernah tinggal di Singapura, Hong Kong, Kuala Lumpur, Zurich, London, dan Bangkok. Anak-anaknya pun masih kecil. Paling besar berusia 8 tahun. Lalu Hashim yang bontot masih 3 tahun. Prabowo sendiri berusia 5 tahun.
Dalam Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2001), Sumitro bercerita anak-anaknya punya karakter tak mudah menyerah. Soal ini, anak ketiganya, Prabowo, paling sering protes soal kehidupan di luar negeri. Sebab, Prabowo selalu diejek orang Barat hanya karena dia orang Indonesia.
"Kenapa bawa kita ke negeri ini? Saya tahu Papi berseberangan dengan Sukarno. Tapi, saya tidak tahan, semua meledek negara kita. Kalau sampai satu tahun lagi saya di sini, saya akan menjadi pro Sukarno," ancam Prabowo pada ayahnya.
Selama di luar negeri, Sumitro terjun berbisnis mebel dan properti demi keluarga dan anak. Untungnya, perjuangan ayah mencari uang terbayarkan oleh nilai akademik bagus dari anak-anaknya.
Jurnalis Thress Nio dalam tulisan di Kompas (11 Juli 1967) berjudul "Kisah Pengembaraan Keluarga Dr. Sumitro" memberi kesaksian, kalau anak pertama Bianti sudah kuliah di Universitas Wisconsin. Lalu, Prabowo naik kelas lebih cepat saking pintarnya. Awalnya hanya beda satu tingkatan kelas dengan Maryani. Namun, dengan cepat bisa setara dengan kakaknya itu.
Selama di luar negeri pula, anak-anak Sumitro tak pandai berbahasa Indonesia. Bahkan, Hashim sama sekali tak bisa bahasa Indonesia.
"Hashim ketika meninggalkan Indonesia baru berusia 3 tahun, kini sama sekali tidak dapat berbahasa Indonesia," tulis Thress Nio di Kompas.
Meski tak bisa bahasa Indonesia, anak-anaknya, khususnya Prabowo, menjadi daya tarik bule-bule. Saat di London, Prabowo yang berusia 15 tahun sering ditelepon oleh perempuan sebaya asal London. Para bule naksir karena Prabowo tampan.
Sampai akhirnya, pelarian Sumitro dan keluarga berakhir ketika pergantian rezim. Dilantiknya Soeharto sebagai Presiden Indonesia pada 1967 membuatnya berani pulang ke Indonesia. Keluarga Djojohadikusumo pun memulai hidup baru di Tanah Air.
Sumitro kemudian menjadi Menteri Riset era Soeharto. Sementara Prabowo memulai perjalanan sebagai taruna Akademi Militer tahun 1973.
(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Lirik Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global
Next Article Disebut Prabowo, Cerita saat Warga RI Sempat Disamakan dengan Anjing