Jakarta, CNBC Indonesia - Bank of Japan (BOJ) mempertahankan suku bunga jangka pendek di 0,5% pada hari ini, Selasa (17/6/2025).
Bank sentral Jepang juga tidak mengubah rencana tapering obligasi yang sudah ada, yakni akan mengurangi pembelian obligasi pemerintah sebesar JPY 400 miliar per kuartal sehingga pembelian bulanan turun menjadi sekitar JPY 3 triliun pada Maret 2026.
Namun, mulai tahun fiskal 2026, pengurangan tersebut diperlambat menjadi JPY 200 miliar per kuartal agar pembelian bulanan mencapai sekitar JPY 2 triliun hingga Maret 2027.
Keputusan BoJ untuk memperlambat laju pengetatan neraca (balance sheet drawdown) mulai tahun fiskal 2026, menunjukkan kehati-hatian dalam menghapus jejak stimulus besar-besaran yang telah diterapkan selama satu dekade.
Keputusan ini diambil di tengah konflik Timur Tengah yang memanas dan perang tarif Amerika Serikt (AS). Kedua faktor ini semakin menyulitkan tugas BOJ untuk menaikkan suku bunga yang masih rendah dan mengurangi neraca yang telah membengkak hingga seukuran perekonomian Jepang.
"Ada berbagai risiko terhadap prospek. Secara khusus, sangat tidak pasti bagaimana kebijakan perdagangan dan kebijakan lainnya di setiap yurisdiksi akan berkembang, dan bagaimana aktivitas ekonomi serta harga luar negeri akan merespons," kata BOJ dalam pernyataannya, dikutip dari Reuters.
Dampak Keputusan BoJ
Naoki Tamura, anggota dewan BOJ, tidak sepakat dengan keputusan ini dan menginginkan pengurangan tetap sebesar JPY 400 miliar per kuartal pada 2026.
Imbal hasil obligasi pemerintah Jepang (JGB) naik setelah pengumuman BOJ, dengan yield acuan 10 tahun naik 3 basis poin menjadi 1,48%.
Langkah memperlambat pengetatan neraca mencerminkan kekhawatiran BOJ terhadap potensi gejolak pasar setelah lonjakan yield obligasi super-jangka panjang bulan lalu.
"Keputusan hari ini ramah pasar. Memperlambat laju tapering membantu menahan kenaikan suku bunga jangka panjang." kata Saisuke Sakai, ekonom senior Mizuho Research & Technologies di Tokyo
BOJ menyatakan akan melakukan tinjauan interim atas program taper fiskal 2026 pada rapat kebijakan Juni tahun depan.
"Jika suku bunga jangka panjang naik terlalu cepat, BOJ akan merespons dengan sigap, misalnya dengan meningkatkan pembelian obligasi," sebut BOJ, menambahkan bahwa kepemilikan JGB mereka akan turun sekitar 16-17% pada Maret 2027 dari level saat ini.
BOJ Mencoba Menekan Inflasi
Pasar kini menanti bagaimana Gubernur BOJ Kazuo Ueda menyeimbangkan risiko tarif AS dan tekanan inflasi domestic.
BOJ mengakhiri kontrol yield curve dan memulai tapering pembelian obligasi besar-besaran tahun lalu. BOJ juga menaikkan suku bunga jangka pendek ke 0,5% pada Januari karena menilai Jepang mulai mendekati target inflasi 2% secara berkelanjutan.
Namun, normalisasi kebijakan BOJ kini berada di persimpangan jalan, karena tarif AS yang tinggi membebani ekonomi Jepang yang bergantung pada ekspor. Dewan BOJ bahkan memangkas proyeksi pertumbuhan dan inflasi pada 1 Mei.
Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba dan Presiden AS Donald Trump pada Senin sepakat melanjutkan pembicaraan perdagangan, tetapi gagal mencapai terobosan untuk mengurangi atau menghapus tarif yang mengancam ekonomi Jepang.
Konflik Iran-Israel yang semakin memanas juga menjadi tantangan tambahan bagi pembuat kebijakan karena dapat mendorong harga minyak mentah naik dan meningkatkan volatilitas pasar.
Namun, jika BOJ menunda kenaikan suku bunga terlalu lama, mereka bisa tertinggal dalam mengendalikan tekanan inflasi, mengingat perusahaan terus menyalurkan kenaikan harga bahan baku dan biaya tenaga kerja.
Inflasi inti Jepang mencapai level tertinggi lebih dari dua tahun di 3,5% pada April, jauh melampaui target 2% BOJ, akibat lonjakan harga pangan sebesar 7,0%.
Dalam pernyataannya, BOJ mempertahankan pandangan bahwa inflasi diperkirakan akan naik secara bertahap karena kekurangan tenaga kerja.
"Kami melihat BOJ perlu menormalisasi kebijakan karena inflasi tampaknya bertahan di atas target 2%," kata Khoon Goh, kepala riset Asia ANZ di Singapura.
"Yen yang lemah jelas menjadi salah satu penyebab tekanan inflasi, terutama dengan lonjakan harga minyak baru-baru ini akibat ketidakpastian geopolitik. Hal ini menambah risiko kenaikan inflasi dalam waktu dekat, mengingat Jepang adalah importir utama minyak," ujarnya.
Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?
Tapering off Jepang dapat memperkuat risiko arus keluar modal dan menekan rupiah. Namun dampaknya tidak akan sebesar tapering AS. Dengan perlambatan tapering ini diharapkan bisa berdampak positif ke Indonesia.
Keputusan BOJ untuk memperlambat tapering (QT lebih hati-hati) dianggap ramah pasar. Kebijakan ini meminimalkan risiko lonjakan yield obligasi Jepang secara mendadak.
Kondisi ini membuat investor Jepang tidak terburu-buru menarik investasi dari emerging markets, termasuk Indonesia.
Artinya, arus modal asing keluar dari Indonesia akibat keputusan BOJ hari ini tidak besar atau bahkan netral.
Karena keputusan BOJ tidak agresif dalam normalisasi kebijakan maka tekanan pada rupiah dari arah yen relatif kecil. Rupiah lebih stabil terhadap yen, namun rupiah tetap rentan terhadap US$ akibat ketidakpastian global (perang dagang, Israel-Iran).
Langkah BoJ yang tidak agresif tersebut maka tekanan suku bunga global tidak langsung meningkat.
Kondisi ini memberi BI ruang untuk mempertahankan BI rate di 5,50% guna menjaga stabilitas rupiah. BI pun tidak harus buru-buru merespons jika tekanan yield global masih terjaga.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(mae/mae)