Ini 10 Daerah Paling Cukup Pangan di RI, Maaf Jawa Bukan Rajanya

4 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemenuhan hak atas pangan merupakan hak paling dasar serta salah satu tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mencapai target pembangunan ini, seperti melalui pengentasan kelaparan dan perbaikan kualitas gizi.

Untuk meninjau tren dan perubahan pola kecukupan konsumsi makanan dalam suatu populasi, digunakan indikator Prevalence of Undernourishment (PoU).

Prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan atau Prevalence of Undernourishment (PoU) adalah proporsi penduduk di suatu wilayah yang mengonsumsi pangan lebih rendah dari standar kecukupan energi untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif.

Indikator ini dinyatakan dalam bentuk persentase. Semakin tinggi nilai PoU berarti semakin rendah kemampuan masyarakat di suatu wilayah dalam pemenuhan konsumsi makanannya. Sebaliknya, nilai PoU yang rendah menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah tersebut sudah mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangannya dengan baik.

Berdasarkan data Susenas yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi ketidakcukupan pangan di Indonesia memiliki kecenderungan turun dari 8,49% pada  2021 menjadi 8,27% pada 2024. Meskipun nilai di tingkat nasional relatif kecil, nilai pada tingkat wilayah administrasi yang lebih kecil menunjukkan ketimpangan yang cukup lebar.

Pada sejumlah wilayah, nilai PoU sudah lebih kecil dibanding nilai PoU di level nasional.

Posisi teratas dalam daftar daerah dengan nilai PoU terendah ditempati oleh Kabupaten Sumbawa Barat di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan nilai PoU sebesar 0,87% pada tahun 2024. Peringkat ke-2 dan ke-3 ditempati oleh daerah di Provinsi Bali, yaitu Kabupaten Gianyar (1,00%) dan Kabupaten Badung (1,02%).

Sejumlah kabupaten/kota lain di provinsi yang sama turut melengkapi daftar tersebut, yakni Kota Mataram (1,40%), Kota Bima (1,52%), dan Kabupaten Dompu (1,69%) di NTB, serta Kota Denpasar Bali (1,62%).

10 Kabupaten/Kota dengan Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan Terendah Di Pulau Jawa, sejumlah kabupaten/kota di Provinsi Banten turut melengkapi daftar 10 teratas daerah dengan nilai PoU terendah. Daerah tersebut antara lain adalah Kota Tangerang (1,89%), Kota Cilegon (1,96%), dan Kabupaten Serang (2,13%).

Sementara itu, DKI Jakarta baru muncul di peringkat 14 dengan Kota Jakarta Selatan yang memiliki nilai PoU sebesar 2,45%.

Dominasi NTB sebagai daerah dengan nilai PoU yang rendah tidak lepas dari status wilayah ini sebagai salah satu provinsi agraris terbesar di Indonesia. Pada tahun 2024, BPS mencatat NTB memiliki luas panen padi mencapai 282 ribu hektar.

Dengan luas panen tersebut, NTB mampu menghasilkan 1,45 juta ton beras pada tahun 2024, menjadikannya sebagai provinsi dengan produksi beras terbesar ke-10. Selain beras, NTB juga merupakan sentra produksi komoditas perikanan dan kelautan terbesar di Indonesia. Melansir Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah produksi udang NTB pada 2022 mencapai 186 ribu ton. Di samping udang, lobster dan rumput laut juga termasuk komoditas unggulan yang dihasilkan NTB.

Di sisi lain, masih banyak daerah yang mencatatkan nilai PoU melebihi 50%.

Data menunjukkan bahwa wilayah yang memiliki nilai PoU tinggi mayoritas berada di kawasan timur Indonesia. Dalam daftar 10 daerah dengan nilai PoU tertinggi, semuanya merupakan kabupaten dan kota yang terletak di Pulau Papua. Kabupaten Deiyai di Provinsi Papua Tengah menempati posisi teratas dalam daftar tersebut, dengan nilai PoU mencapai 57,91% pada tahun 2024.

Kabupaten Dogiyai di provinsi yang sama menyusul dengan nilai PoU yang tidak jauh berbeda, yakni sebesar 57,88%. Pada peringkat ke-3 dan ke-4, daerah dengan nilai PoU tertinggi masih berasal dari Provinsi Papua Tengah, yaitu Kabupaten Paniai (56,52%) dan Kabupaten Puncak (52,86%).

Sejumlah kabupaten/kota di Provinsi Papua, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan turut melengkapi daftar 10 teratas daerah dengan nilai PoU tertinggi. Pada posisi ke-10, terdapat Kabupaten Tolikara di Provinsi Papua Pegunungan dengan nilai PoU sebesar 38.64%. Nilai ini bahkan masih sangat timpang jika dibandingkan dengan nilai pada tingkat nasional.

Tingginya nilai PoU di kawasan Indonesia Timur menandakan bahwa daerah ini menghadapi tantangan serius dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan masyarakatnya.

Proyek Food Estate sebagai Intervensi Pemerintah

Masalah keterbatasan pemenuhan pangan di wilayah ini mendorong pemerintah untuk melakukan intervensi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini sekaligus mencapai ambisi swasembada pangan, adalah dengan membangun lumbung pangan atau food estate. Tanah Papua merupakan kawasan yang kerap menjadi lokasi pelaksanaan proyek strategis nasional tersebut.

Mega proyek lumbung pangan telah digelar pada 2007 dengan Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) dan pada 2010 dengan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

Namun, proyek food estate yang menghabiskan sekitar 480 ribu hektare lahan tersebut belum maksimal. 

Meskipun begitu, pemerintah tetap melanjutkan dan sedang menyiapkan lahan hutan seluas 481 ribu hektare di Wanam, Kabupaten Merauke untuk difokuskan sebagai bagian dari rencana swasembada pangan dan energi.

Sebelumnya di tahun 2024, pemerintah telah mengalokasikan 2 juta hektare lahan Merauke untuk proyek cetak sawah baru seluas sejuta hektar dan perkebunan tanaman tebu dan bioetanol. 

Pada akhirnya, pemenuhan hak atas pangan bukan sebatas menyediakan pangan, tetapi juga menjamin keadilan dalam akses terhadap pangan yang bergizi bagi setiap warga negara.

(mae/mae)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research