Jakarta, CNBC Indonesia- Hubungan dagang Indonesia dan Afrika Selatan menunjukkan arah yang kontras sepanjang Oktober 2024 hingga Oktober 2025.
Berdasarkan Satu Data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor Indonesia ke Afrika Selatan mencapai US$894 juta, tumbuh 6,94% (yoy). Sebaliknya, impor dari Afrika Selatan ke Indonesia turun tajam 41,46% menjadi US$1,05 miliar. Penurunan signifikan di sisi impor ini menjadi sinyal positif bagi neraca perdagangan RI yang mulai mendekati titik keseimbangan.
Dari sisi ekspor, kinerja Indonesia ke Afrika Selatan masih didominasi oleh produk minyak nabati dan turunannya. Komoditas dengan kode HS 15119020 menyumbang ekspor terbesar senilai US$226,94 juta, meski turun 11,47% dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, varian lain dari kategori serupa, yakni HS 15119037, justru melonjak tajam 70,3% menjadi US$52,38 juta, menandakan permintaan Afrika Selatan terhadap produk lemak dan minyak olahan Indonesia masih kuat di pasar Afrika bagian selatan.
Selain minyak nabati, produk bahan bakar mineral (HS 27040010) mencatat nilai ekspor US$43,98 juta, diikuti oleh mesin dan peralatan mekanis (HS 84295200) sebesar US$35,10 juta.
Produk lemak dan minyak olahan lainnya (HS 15132994) juga tumbuh 59,1% menjadi US$34,50 juta, mempertegas dominasi ekspor berbasis agribisnis dan energi dari Indonesia. Sementara itu, ekspor kakao dan olahan kakao (HS 18040000) meningkat pesat 122,4% menjadi US$32,92 juta, menandakan naiknya minat pasar Afrika terhadap produk konsumsi bernilai tambah asal Indonesia.
Di luar sektor pangan, komoditas otomotif dan karet juga berperan penting. Ekspor kendaraan (HS 87032259) mencapai US$22,95 juta, sementara karet dan produk turunannya (HS 40012220) sedikit turun 11,6% menjadi US$21,51 juta. Produk mesin bermotor (HS 84073472) pun naik signifikan 69,9% menjadi US$17,69 juta, memperlihatkan peningkatan ekspor manufaktur Indonesia yang lebih kompleks ke kawasan tersebut.
Dari sisi impor, struktur perdagangan menunjukkan dominasi bahan baku industri berat. Komoditas bijih logam, terak, dan abu (HS 26100000) mencatat nilai impor tertinggi sebesar US$589,42 juta, naik tipis 2,78% dari tahun sebelumnya.
Namun, kategori besi dan baja (HS 72024100) anjlok 68,35% menjadi US$285,91 juta, menunjukkan melemahnya aktivitas manufaktur dan konstruksi dalam negeri yang bergantung pada pasokan Afrika Selatan.
Selain itu, impor bijih logam lainnya (HS 26020000) juga turun 50,4%, sementara pulp dari kayu dan bahan selulosa (HS 47020020) justru melonjak 124,6% menjadi US$23,82 juta.
Lonjakan ini menunjukkan meningkatnya kebutuhan bahan baku industri kertas di Indonesia. Di sisi lain, produk aluminium (HS 76011000) turun 43,7%, dan buah jeruk serta melon (HS 8083000) menyusut 23,2%, menggambarkan penurunan impor komoditas non-industri dari Afrika Selatan.
Meski begitu, ada juga sinyal pemulihan pada produk tertentu. Impor aluminium jenis lain (HS 76012000) naik 54,05% menjadi US$4,71 juta, sedangkan pulp jenis lainnya (HS 47032900) hanya turun sedikit 6,8%, menandakan stabilitas di sektor bahan baku manufaktur. Di sisi lain, impor kapas (HS 52010000) mengalami kontraksi 29,3% menjadi US$4,39 juta, selaras dengan melambatnya industri tekstil nasional.
Yang mengagetkan, impor buah jeruk dan melon masuk enam besar barang impor dari Afrika Selatan.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)













































