Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi ekonomi Eropa tengah dalam sorotan tajam karena terus menunjukkan perlambatan bahkan kontraksi. Kondisi ini bisa berdampak negatif bagi Indonesia yang punya hubungan erat, baik dalam hal mitra dagang, investasi langsung (FDI), maupun wisatawan yang berkunjung ke Tanah Air.
Indikasi pelemahan beberapa negara di Eropa telah terendus oleh Bank Sentral Eropa (ECB) hingga akhirnya pada Kamis (30/1/2025), ECB menurunkan suku bunga utamanya sebesar 25 basis poin (bps) pada Januari 2025, sesuai dengan ekspektasi. Pemangkasan ini mengurangi suku bunga fasilitas deposito menjadi 2,75%
Lebih lanjut, ECB juga mengisyaratkan pemangkasan lebih lanjut pada Maret karena kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi yang lesu lebih diutamakan dibandingkan dengan inflasi yang masih bertahan.
Ini adalah pemangkasan suku bunga kelima oleh ECB sejak Juni, dan pasar memperkirakan masih akan ada dua atau tiga pemangkasan lagi tahun ini. Hal ini didorong oleh argumen bahwa lonjakan inflasi terbesar dalam beberapa dekade hampir terkendali dan ekonomi yang melemah membutuhkan stimulus.
Tiga pejabat ECB yang berbicara kepada Reuters pada Kamis mengatakan bahwa mereka memperkirakan pemangkasan suku bunga lebih lanjut pada Maret akan berjalan lancar tanpa banyak perlawanan, sebelum perdebatan dalam Dewan Pemerintahan ECB mengenai pelonggaran lebih lanjut menjadi lebih intens.
Dengan ekonomi zona euro yang stagnan di kuartal terakhir akibat resesi industri dan lemahnya konsumsi, ECB diperkirakan akan teguh terhadap kebijakan pelonggarannya, meskipun Federal Reserve AS mempertahankan suku bunga dan mengisyaratkan jeda yang cukup lama.
Perlambatan ekonomi Eropa juga dapat terlihat dari beberapa negara maju maupun industri mobil yang mengalami kemunduran. Berikut ini beberapa di antaranya:
1. Jerman
Jerman terjebak dalam krisis ekonomi yang mendalam di tengah perubahan struktural, yang menurut kelompok lobi industri terkemuka negara itu akan menyebabkan perlambatan ekonomi paling berkepanjangan sejak reunifikasi hampir 35 tahun lalu.
Jerman adalah motor utama penggerak ekonomi utama Eropa sehingga kemunduran ekonomi negara tersebut langsung berimbas banyak ke Benua Biru.
Federasi Industri Jerman (BDI) memperkirakan ekonomi Jerman akan menyusut sebesar 0,1% pada 2025, setelah mengalami kontraksi 0,2% pada 2024 dan 0,3% pada 2023. Artinya, ekonomi Jerman sudah mengalami resesi.
Menurut BDI, kontraksi ekonomi Jerman tahun ini bertolak belakang dengan proyeksi pertumbuhan 1,1% untuk Uni Eropa.
"Pertumbuhan industri, khususnya, telah mengalami perubahan struktural. Buku pesanan tetap kosong, mesin-mesin tidak beroperasi, perusahaan tidak lagi berinvestasi atau setidaknya tidak di Jerman. Saya tidak dapat mengingat suasana yang seburuk ini di kalangan perusahaan industri." kata Presiden BDI, Peter Leibinger. "
Ekonomi Jerman mengalami guncangan ganda akibat pandemi Covid-19 dan invasi Rusia ke Ukraina. Yang terakhir terus memberikan tekanan besar pada ekonomi setelah sanksi terhadap minyak dan gas Rusia memutus Jerman dari sumber energi yang krusial.
Namun, menurut Leibinger dari BDI, permasalahan industri Jerman sebenarnya sudah dimulai sejak musim panas 2018, sekitar waktu ketika produksi industri mencapai puncaknya.
2. Prancis
Ekonomi Prancis tumbuh sebesar 1,1% pada 2024, tetapi mengalami kontraksi pada kuartal keempat tahun tersebut akibat krisis politik yang berkepanjangan setelah lonjakan pertumbuhan dari Olimpiade Paris, menurut data resmi yang dirilis pada Kamis.
Sebagai ekonomi terbesar kedua di zona euro, Prancis mencatat kinerja lebih buruk dari perkiraan pada kuartal keempat dengan kontraksi sebesar 0,1%, menurut angka dari lembaga statistik INSEE.
INSEE sebelumnya memperkirakan ekonomi Prancis akan mencatat pertumbuhan nol dalam periode Oktober-Desember setelah mengalami pertumbuhan 0,4% pada kuartal ketiga, yang mencakup bulan-bulan musim panas saat berlangsungnya Olimpiade.
"Ada penurunan signifikan pasca-Olimpiade," kata Maxime Darmet, ekonom di perusahaan asuransi Allianz, kepada AFP.
Konsumsi rumah tangga melambat pada kuartal keempat, tumbuh hanya 0,4%, sementara investasi mengalami sedikit penurunan.
Pertumbuhan PDB sepanjang tahun sesuai dengan perkiraan 1,1% yang dibuat oleh INSEE dan pemerintah Prancis.
Penurunan ekonomi Prancis semakin memperburuk prospek zona euro, terutama karena ekonomi terbesarnya, Jerman, juga mengalami perlambatan.
3. Industri Otomotif
Masalah utama yang dihadapi produsen mobil Eropa dapat dirangkum dalam satu kata: permintaan yang lemah.
Pada 2024, produksi mobil di Eropa berkurang dua juta unit dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Hal ini disebabkan oleh menurunnya kemampuan masyarakat Eropa untuk membeli mobil baru akibat biaya hidup yang lebih tinggi dan suku bunga yang tinggi.
"Kelas menengah Eropa kehilangan daya beli," kata Luca de Meo, CEO Renault, kepada wartawan tahun lalu yang diambil dari Euractiv. Tanpa daya beli dari keluarga kelas menengah, industri otomotif pun terpukul.
Penurunan permintaan ini terutama terlihat pada mobil listrik, yang harganya justru meningkat dalam beberapa tahun terakhir-berlawanan dengan harapan bahwa biaya baterai yang lebih rendah dan skala ekonomi akan menurunkan harga.
Tren 'local for local' mempercepat penurunan produksi di Eropa. Tren ini membuat produsen mobil, terutama merek Jerman, makin sering membangun pabrik dan mendapatkan pasokan di negara tujuan pemasaran, seperti memproduksi mobil untuk pasar AS langsung di Amerika Utara.
"Model bisnis manufaktur di Eropa perlu diperbaiki," ujar Sigrid de Vries, Direktur Jenderal lobi industri otomotif utama UE, ACEA, kepada Euractiv.
Selain itu, penurunan produksi mobil di Eropa juga berdampak pada pengurangan tenaga kerja.
Sepanjang 2024, sebanyak 88.000 pengurangan pekerjaan telah diumumkan, menurut data Eurofound. Ini termasuk pengumuman Volkswagen, produsen mobil terbesar di Eropa, untuk memangkas 35.000 pekerjaan pada 2030 meskipun perusahaan berjanji untuk tidak melakukan pemecatan langsung.
Tenaga kerja di industri otomotif juga makin menua, sehingga ribuan pekerja akan pensiun dalam beberapa tahun ke depan.
Selain itu, pergeseran ke mobil listrik mempercepat kehilangan pekerjaan, karena mobil listrik lebih sederhana untuk dirakit dan banyak komponen mesin pembakaran internal yang tidak lagi diperlukan.
Bersama serikat pekerja lainnya, IndustriAll menyerukan moratorium di seluruh Eropa untuk mencegah penutupan aset industri dan pemutusan hubungan kerja secara paksa, sehingga solusi yang lebih adil dapat dinegosiasikan bagi setiap pabrik dan pekerja.
Namun, Sigrid de Vries, Direktur Jenderal ACEA, tidak sepakat. "Saya tidak melihat bahwa industri hanya memecat pekerja begitu saja," katanya. Menurutnya, produsen mobil telah berusaha keras untuk melatih ulang dan mempekerjakan kembali tenaga kerja.
Dampak ke Indonesia
Pelemahan ekonomi Eropa dapat berdampak signifikan terhadap Indonesia dalam beberapa aspek utama, terutama di sektor perdagangan, investasi, dan stabilitas pasar keuangan. Berikut adalah beberapa dampak utama:
1. Penurunan Ekspor Indonesia ke Eropa
Eropa, terutama Uni Eropa, merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia, terutama dalam ekspor komoditas seperti kelapa sawit, karet, kopi, tekstil, dan produk perikanan.
Jika ekonomi Eropa melemah, permintaan terhadap produk-produk tersebut bisa menurun, yang berpotensi menekan harga ekspor dan mengurangi pendapatan bagi pelaku usaha di Indonesia.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor non-migas Indonesia ke Uni Eropa mencapai US$,19 miliar pada 2024. Nilai tersebut memang naik bila dibandingkan 2023 tetapi masih jauh lebih kecil dibandingkan 2021 dan 2022.
2. Berkurangnya Investasi Asing
Eropa merupakan salah satu sumber investasi langsung asing (FDI) di Indonesia, terutama di sektor manufaktur, energi, dan infrastruktur.
Jika perusahaan Eropa mengalami kesulitan finansial, investasi ke Indonesia bisa tertunda atau bahkan berkurang.
Sektor startup dan teknologi juga bisa terdampak karena banyak investor dari Eropa mendukung pengembangan ekosistem digital di Indonesia.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan negara-negara Eropa masuk dalam 15 besar investor terbesar di Indonesia yakni Belanda, Inggris, dan Jerman
3. Pariwisata dan Industri Kreatif Terganggu
Wisatawan dari Eropa merupakan salah satu segmen penting dalam industri pariwisata Indonesia, terutama di Bali, Yogyakarta, dan Lombok.
Pelemahan ekonomi Eropa dapat mengurangi jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia, yang berdampak pada pendapatan sektor pariwisata, perhotelan, dan ekonomi kreatif.
Data BPS menunjukkan jumlah wisatawan asing asal Eropa pada Januari-November 2024 mencapai 220.7816. Turis terbanyak adalah Inggris, Prancis, dan Belanda.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev)