Jakarta CNBC Indonesia- Harga minyak mentah dunia menutup Januari 2025 dengan Brent di level US$ 76,76 per barel dan WTI di US$ 72,53 per barel. Pergerakan harga sepanjang bulan ini mencerminkan pengaruh berbagai faktor global.
Faktor tersebut termasuk kebijakan produksi OPEC+, strategi energi Donald Trump, serta dampak sanksi terhadap Rusia. Setelah mencatatkan volatilitas tinggi, harga minyak masih berada dalam tekanan akibat ketidakpastian permintaan global.
Awal Tahun Volatil, China dan Cuaca Hangat Jadi Faktor Penekan
Harga minyak sempat mengalami tekanan di awal Januari akibat lemahnya data ekonomi dari China. Aktivitas manufaktur di negara importir minyak terbesar dunia mengalami kontraksi tak terduga, meningkatkan kekhawatiran terhadap permintaan global. Selain itu, prakiraan cuaca yang lebih hangat dari biasanya di AS dan Eropa juga mengurangi permintaan bahan bakar pemanas, semakin membebani harga minyak.
Pada 15 Januari, harga minyak Brent mencapai titik tertinggi di US$ 82,03 per barel sebelum kembali melemah. Sementara WTI juga menyentuh US$ 80,04 per barel di hari yang sama, didorong oleh kekhawatiran pasar terhadap sanksi baru AS terhadap Rusia. Namun, tekanan fundamental dari China dan kondisi cuaca menahan reli harga lebih lanjut.
Trump, OPEC+, dan Tarik Ulur Kebijakan Produksi
Salah satu faktor utama yang mengguncang pasar minyak adalah langkah Donald Trump yang kembali menyerukan peningkatan produksi dalam negeri AS dan meminta OPEC untuk menurunkan harga minyak. Pernyataan Trump memicu reaksi dari Arab Saudi dan OPEC+, yang tetap menekankan stabilitas pasar sebagai prioritas utama.
Sementara itu, OPEC+ yang sebelumnya menahan produksi sebesar 5,86 juta barel per hari masih mempertahankan kebijakan pembatasan pasokan. Namun, kelompok ini telah mengisyaratkan potensi peningkatan produksi mulai April 2025. Beberapa anggota OPEC, termasuk Uni Emirat Arab dan Irak, telah mendesak kelompok tersebut untuk mempercepat kenaikan produksi dengan alasan investasi besar dalam kapasitas tambahan.
Sanksi Baru AS terhadap Rusia, Dampak ke Pasar Minyak
Selain kebijakan OPEC+, dinamika geopolitik juga turut membentuk pergerakan harga minyak. Pada 16 Januari, AS memperluas sanksi terhadap perusahaan minyak dan kapal tanker Rusia dalam upaya menekan pendapatan negara tersebut yang digunakan untuk mendanai perang di Ukraina.
Sanksi tersebut diperkirakan berdampak pada sekitar 1,5 juta barel per hari ekspor minyak Rusia. Namun, analis Goldman Sachs menilai dampaknya terhadap produksi Rusia akan terbatas karena peningkatan tarif pengiriman telah memfasilitasi pengalihan minyak Rusia ke pasar alternatif seperti China dan India. Di sisi lain, bank investasi JP Morgan memperingatkan bahwa premi risiko masih dibenarkan, mengingat hampir 20% dari armada kapal tanker Aframax dunia kini menghadapi sanksi.
Harga Minyak Tertekan, Perubahan di Pasar Spot
Memasuki akhir Januari, tekanan terhadap harga minyak masih berlanjut, dengan Brent turun ke US$ 76,76 dan WTI ke US$ 72,53 per barel pada 31 Januari. Harga minyak tetap di bawah tekanan setelah Trump kembali menegaskan rencana peningkatan produksi energi domestik AS, yang dapat memperburuk prospek harga minyak global.
Di sisi lain, permintaan global masih menghadapi tantangan dari China, di mana data terbaru menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dari perkiraan. Hal ini semakin diperburuk oleh kelebihan pasokan minyak akibat penurunan permintaan bahan bakar pemanas di belahan bumi utara.
Dengan berbagai faktor yang masih bergejolak, prospek harga minyak di 2025 diperkirakan tetap dalam tekanan. OPEC+ dijadwalkan meninjau kebijakan produksi pada Februari, yang dapat memberikan sinyal lebih jelas mengenai arah pasar ke depan. Sementara itu, sanksi terhadap Rusia masih akan menjadi faktor yang dapat mengganggu pasokan global.
Bank Dunia memperkirakan harga minyak global akan cenderung melandai sepanjang 2025, terutama jika permintaan dari China terus melambat. Namun, ketidakpastian geopolitik dan kebijakan energi dari negara-negara besar tetap menjadi faktor utama yang dapat mendorong volatilitas harga dalam beberapa bulan ke depan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(emb/emb)