Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara melemah lagi pada perdagangan Rabu di tengah banyaknya sentiment negatif.
Merujuk Refinitiv, harga batu bara pada perdagangan Rabu (26/11/2025) melemah 0,67% ke US$ 110,65 per ton.
Pelemahan ini memperpanjang tren negative batu bara dengan melemah 1,7% dalam dua hari beruntun.
Harga batu bara melemah di tengah banyaknya sentiment negatif.
Produksi dan pengiriman batubara India menurun untuk bulan kedua berturut-turut pada Oktober tahun ini. Penurunan ini sejalan dengan menurunnya permintaan bahan bakar kering dari sektor listrik, yang juga tercermin dari menurunnya konsumsi listrik.
Menurut Kementerian Batu bara, produksi batu bara secara nasional turun sebesar 8,5% secara tahunan (YoY) menjadi 77,43 juta ton (mt) pada Oktober 2025 secara provisional. Pengiriman juga menurun hampir 5% YoY menjadi 80,44 mt.
Angka IIP (Index of Industrial Production) untuk bulan lalu menunjukkan tren serupa. Produksi batu bara turun 8,5% (YoY) pada Oktober 2025. Indeks kumulatifnya turun 2% ( YoY) selama April-Oktober Full Year 2026.
Konsumsi energi India mencapai 132 miliar unit (BU) pada Oktober 2025, menurun 6% (YoY).
Pembangkitan listrik berbasis batub ara juga lebih rendah secara tahunan pada Oktober 2025 dan periode April-Oktober 2025 masing-masing sebesar 93,61 BU dan 718,02 BU, dibandingkan 108,76 BU dan 760,50 BU pada Oktober 2024 dan April-Oktober 2024. Batubara menyumbang 67,21% dari total pembangkitan listrik India, naik dari sekitar 63% pada September 2025.
Permintaan batu bara yang menurun juga menyebabkan kebutuhan kereta api untuk pengiriman berkurang. Pemuatan kereta menurun 3,47 persen YoY menjadi 289,6 gerbong per hari. Untuk sektor listrik, kebutuhan turun 5,49% (YoY) menjadi 254,8 gerbong per hari.
Menariknya, produksi dan pengiriman batu bara juga menurun selama dua bulan berturut-turut pada Juni dan Juli 2025 karena hujan monsun memengaruhi aktivitas pertambangan. Bulan-bulan musim hujan biasanya ditandai dengan konsumsi listrik yang lebih rendah, sehingga permintaan batu bara menurun dan pasokan yang dibutuhkan ikut berkurang.
Secara historis, operasi pertambangan dan batu bara memasuki fase lambat selama musim monsun empat bulan. Aktivitas kembali meningkat dari Oktober hingga Maret seiring dengan musim festival, pernikahan, dan perjalanan.
Namun, 2025 menjadi pengecualian, karena konsumsi listrik India menurun sejak Mei akibat hujan awal yang menurunkan suhu, berbeda dengan 2024 ketika puncak permintaan listrik negara ini mencapai 250 gigawatt (Mei 2024), rekor tertinggi sepanjang masa.
AS Tutup tambang Wisconsin
Dari Amerika Serikat (AS) dilaporkan terminal batu bara yang telah beroperasi puluhan tahun di Superior, Wisconsin, akan ditutup tahun depan karena pengiriman batu bara menurun drastis akibat peralihan ke energi bersih.
Midwest Energy Resources Company, anak perusahaan dari DTE Electric Company, tidak akan memperbarui sewa 50 tahun mereka dengan Koch Industries mulai 30 Juni tahun depan.
Brad Carroll, juru bicara DTE Energy, menyatakan bahwa terminal tersebut telah menjadi bagian penting dari operasi DTE selama bertahun-tahun.
Penutupan terminal ini akan berdampak pada 56 karyawan. Carroll menambahkan bahwa mereka akan memiliki kesempatan untuk melamar posisi lain di DTE, yang sebelumnya dikenal sebagai Detroit Edison.
Terminal milik perusahaan ini dibuka pada tahun 1976. Terminal ini menjadi salah satu fasilitas utama yang memindahkan batubara dari kereta api ke kapal di Danau Besar, menurut Jayson Hron, juru bicara Duluth Seaway Port Authority.
Hron mengatakan bahwa fasilitas ini mencatat rekor pemuatan 22 juta short ton batu bara pada 2008, hampir setengah dari total tonase yang melalui Pelabuhan Duluth-Superior. Namun, tonase batu bara telah turun 75 % dari puncaknya di terminal Superior karena pergeseran dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
Permintaan China Melemah
Kabar buruk juga datang dari China, pada Oktober 2025, output listrik dari tenaga air (hydropower) di China melonjak 28,2% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yakni mencapai sekitar 135,13miliar kWh.
Lonjakan output hydropower kemungkinan besar dipicu oleh kondisi cuaca dan curah hujan yang meningkatkan aliran air dan memungkinkan pemanfaatan penuh kapasitas pembangkit air.
Karena skala pembangkit listrik China sangat besar, perubahan output hydropower di negeri itu bisa berdampak pada dinamika permintaan batu bara. Lonjakan produksi listrik dari hydropower akan mengurangi ketergantungan China pada bahan baakr fosil, termasuk batu bara.
Perkembangan ini akan mempengaruhi harga komoditas energi global, termasuk batu bara termal yang juga banyak diekspor dari Asia.
Untuk negara‑negara di Asia termasuk Indonesia, perubahan ini penting dipantau karena bisa memengaruhi fluktuasi harga energi, perdagangan komoditas energi, dan keputusan investasi di sektor energi/pertambangan.
Data Sxcoal menunjukkan pasar impor batu bara termal low‑CV (nilai kalor rendah) ke China menunjukkan pelemahan karena pembangkit listrik (utility) di China menahan pembelian. Tender dan minat beli dari utilitas liar‑liar melemah, sehingga pedagang dan importir mulai menurunkan aktivitas dan harga mulai mendapat tekanan.
Utilitas di China menunda pembelian karena stok batubara domestik dan port supply relatif cukup. Harga domestik dan kondisi pasokan lokal di China membuat batubara impor kurang menarik terutama batubara low‑CV dari luar negeri.
Pelemahan pasar impor low‑CV di China berarti tekanan bagi eksportir batu bara Indonesia dan negara lain yang banyak mengirim batubara low‑CV ke China. Jika tren ini berlanjut yakni kombinasi oversupply di China, utilitas yang berhati‑hati, dan pergeseran ke batubara berkualitas lebih tinggi maka harga batubara low‑CV bisa makin tertekan, menurunkan margin bagi produsen.
Ini juga menambah ketidakpastian terhadap volume ekspor batu bara ke China dan strategi produksi eksportir batubara di Indonesia atau negara pemasok lainnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(mae/mae)















































