Bima Satria Anugerah
Sejarah | 2025-11-06 14:27:07
Boikot Pajak, Simbol Kepahlawanan atau Penghambat Pembangunan?
Dinamika yang terjadi di dalam negeri akhir-akhir ini telah menimbulkan keresahan yang cukup luas di tengah masyarakat. Kasus korupsi marak terjadi dengan nominal yang semakin fantastis, anggaran dihambur-hamburkan, insentif pejabat bertambah tinggi, namun di sisi lain pajak dinilai semakin mencekik. Rakyat mulai bergerak, unjuk rasa besar di Pati sebagai akibat kenaikan tarif PBB telah menginspirasi seluruh negeri. Pati memulai, Jakarta dan daerah-daerah lainnya akhirnya meletus pada penghujung bulan Agustus lalu. Yang pada awalnya adalah unjuk rasa sebagai reaksi dari kenaikan tunjangan fasilitas anggota DPR, pada perkembangannya meluas menjadi demonstrasi besar-besaran di seluruh negeri pasca insiden represi dari kepolisian yang memakan korban jiwa seorang pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan. Demonstrasi tidak terkontrol hingga mengakibatkan destruksi yang masif dan korban jiwa yang tidak sedikit. Tidak hanya itu, masyarakat mulai menyuarakan boikot pajak sebagai bentuk protes atas buruknya distribusi anggaran yang dianggap tidak berdampak terhadap rakyat kecil, tetapi justru mempertebal dompet para pejabat dan koruptor.
Boikot pajak di masa kolonial
Gerakan boikot pajak bukan hal baru di Indonesia. Pada zaman kolonial Belanda misalnya, boikot pajak menjadi gerakan perlawanan yang dilakukan rakyat atas kesewenang-wenangan pemerintah kolonial. Cipto Mangunkusumo bersama dengan Hadji Mohammad Misbach dan Marco Kartodikromo misalnya, menggalang kekuatan untuk melakukan protes terhadap kebijakan pajak setoran untuk pabrik gula di Surakarta pada tahun 1920an. Penolakan membayar pajak juga disuarakan oleh rakyat Sumatera Barat pada tahun 1908. Di daerah Padang tersebar peringatan yang menyatakan bahwa orang pembayar belasting (pajak) adalah kafir, sontak hal ini memicu reaksi keras dari Pemerintah Kolonial Belanda, penertiban pun dilakukan dan memakan korban masyarakat Minang hingga ratusan jiwa. Gerakan boikot tidak hanya melalui pergolakan fisik, seperti yang dilakukan oleh Samin Surosentiko, sosok terkenal yang berasal dari daerah Blora. Samin beserta pengikutnya melawan dalam diam dengan menolak membayar pajak karena menganggap tanah, air, dan kayu adalah milik bersama, tidak dikuasai oleh pihak tertentu.
Perlawanan memboikot pajak seperti disebutkan di atas kerap terjadi di banyak daerah selama masa penjajahan Belanda. Namun, perlawanan di masa lampau dapat dipahami karena timbal balik yang diterima oleh rakyat sangat minim. Fakta bahwa Belanda merupakan entitas penjajah menambah sensitifnya isu pajak di masa itu, rakyat Indonesia diperas oleh kolonial Belanda untuk memakmurkan rakyat di negaranya yang berada ribuan mil dari Indonesia. Bahkan, di satu titik pendapatan Belanda dari Hindia Belanda mencapai sepertiga dari PDB total negara Belanda. Hal ini semakin miris ketika menilik keadaan di daerah koloni yang sangat terbelakang, berbanding terbalik dengan kemakmuran negeri Belanda.
Miskonsepsi boikot pajak di masa kini
Gerakan boikot pajak di masa lalu sangat wajar bila dikonotasikan sebagai heroisme rakyat karena dianggap memperjuangkan masyarakat yang sedang diperas oleh penjajah. Namun, gerakan boikot tidak dapat dipersepsikan sebagai hal yang sama bila dilakukan di masa kini. Berbeda dari masa kolonial yang memeras rakyat Indonesia untuk kepentingan rakyat Belanda, pajak yang dikelola saat ini bersumber dari rakyat dan akan kembali untuk rakyat. Praktik pajak saat ini justru menjadi subsidi silang karena terdapat tarif progresif, artinya si kaya akan dikenakan tarif lebih besar, sedangkan si miskin akan mendapat subsidi sebagai pengaman sosial.
Boikot pajak yang dilakukan oleh masyarakat memang bertujuan untuk memprotes ketimpangan ekonomi yang lebar antara pejabat dan rakyat, juga merupakan protes atas maraknya praktik KKN di negeri ini. Namun yang luput dari perhatian adalah bagaimana pentingnya peran pajak sebagai tulang punggung berjalannya setiap sendi kehidupan negara. Pajak menyumbang hingga lebih dari 80 persen dari penerimaan negara, sehingga dapat dikatakan lebih dari 80 persen pembangunan bersumber dari pajak. Sebagai instrumen pembangunan, pajak juga berperan penting sebagai jaring pengaman sosial. Ambil contoh saja, beberapa saat yang lalu sempat heboh kasus Raya, balita yang meninggal akibat kurangnya asupan gizi dan serangan parasit. Tanpa pajak, bisa jadi terdapat jutaan Raya lain di luar sana yang tidak dapat diselamatkan. Tanpa pajak, bisa jadi tidak akan ada posyandu yang merupakan garda terdepan negara dalam mengawal pertumbuhan anak, bisa jadi subsidi pertanian tidak akan ada sehingga harga pangan melambung, dan tentunya tidak ada bantuan sosial sebagai harapan terakhir untuk bertahan hidup. Meskipun terdapat instrumen pengaman sosial selain dari negara seperti iuran sosial keagamaan (seperti zakat), namun seperti yang kita ketahui bersama potensinya belum memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia.
Masyarakat juga terlanjur mengira pajak yang semakin mencekik melanggengkan praktik KKN. Namun, apa yang jarang disadari adalah justru pajak lah yang menunjang upaya pemberantasan korupsi itu sendiri. Hal ini tercermin dari anggaran untuk KPK dari tahun ke tahun yang semakin meningkat. Tahun 2015 tercatat KPK digelontor anggaran Rp899 miliar, angka tersebut meningkat hingga Rp1,37 triliun pada tahun 2024, presentase kenaikan anggaran KPK di periode tersebut bahkan melebihi presentase kenaikan belanja negara pada postur APBN di periode yang sama.
Meskipun dipaparkan fakta seberapa pentingnya pajak terhadap berjalannya negara, masih terdapat pihak yang skeptis dengan peran pajak. Mereka kerap menggaungkan opsi penggalian penerimaan negara bukan pajak untuk menggantikan peran pajak sebagai tulang punggung APBN. Sumber pendanaan seperti hasil eksploitasi sumber daya alam, perdagangan internasional, hingga keuntungan BUMN dianggap dapat menggantikan peran pajak. Sebenarnya saran tersebut cukup baik, apalagi didukung oleh narasi Indonesia sebagai negara yang besar dan kaya. Namun, untuk saat ini gagasan-gagasan tersebut masih belum realistis. Potensi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sudah mencakup keuntungan BUMN dan royalti sumber daya alam hanya sekitar Rp477 triliun atau hanya sekitar 16 persen dari proyeksi penerimaan negara pada APBN. Oleh sebab itu, selama belum ada sumber penerimaan lain yang dapat menggantikan pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara, sudah sewajarnya kita mendukung pembangunan melalui pajak. Meskipun ada banyak pihak yang tidak setuju dengan pemungutan pajak, hadirnya pajak masih mengandung lebih banyak manfaat daripada mudarat yang ditimbulkannya.
Ada banyak jalan lain untuk mengkritisi distribusi pendapatan dan KKN yang terjadi di negara ini. Alih-alih melakukan boikot pajak yang bisa jadi akan mengundang mudarat, rakyat dapat mendorong pemerintah untuk lebih transparan dan akuntabel dalam mempertanggungjawabkan pajak dari masyarakat. Masyarakat sendiri juga dapat berpartisipasi dalam pengawasan keuangan negara untuk mencegah kebocoran-kebocoran anggaran yang terjadi. Masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap penggunaan anggaran, paling tidak dengan melakukan kritik seperti apa yang saat ini dilakukan terhadap tunjangan fasilitas anggota DPR.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

2 hours ago
2











































