Jakarta, CNN Indonesia --
Wacana bangkitnya Dwifungsi ABRI mulanya mencuat setelah perubahan UU 20/2023 tentang ASN yang mengatur prajurit TNI dan Polri boleh mengisi jabatan sipil. Dan, belakangan menguat lagi seiring Revisi UU TNI yang tengah bergulir di DPR.
Salah satu yang mendapat 'lampu sorot' publik ialah Pasal 47 di revisi UU TNI yang ingin menambahkan jumlah instansi yang dapat diisi prajurit TNI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Draf RUU TNI itu memuat usulan perluasan kementerian/lembaga yang boleh diduduki prajurit aktif jadi 15 dari semula 10. Tambahan lima pos baru yang bisa ditempati TNI aktif itu meliputi kelautan dan perikanan, BNPB, BNPT, keamanan laut, dan Kejaksaan Agung.
Namun, pemerintah hingga TNI sudah membantah soal isu bakal kembalinya dwifungsi ABRI yang melanggengkan pemerintahan Presiden kedua RI Soeharto atau Orde Baru selama 32 tahun. Orde Baru itu runtuh oleh gelombang reformasi pada 1998, termasuk pula Dwifungsi ABRI.
ABRI atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pun berubah jadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Terbaru dari pihak TNI, KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak tak sepakat dengan tudingan yang menyatakan revisi UU TNI akan membuat militer kembali seperti di masa Orde Baru. Dia lalu menyebut pihak yang mempersoalkan penempatan prajurit aktif di lembaga/kementerian justru ingin menyerang institusi TNI.
"Jadi tidak usah ramai bikin ribut di media, ini itu lah, orde baru lah, tentara dibilang hanya bisa membunuh dan dibunuh. Menurut saya, otak-otak (pemikiran) seperti ini, kampungan menurut saya," ujar Maruli dalam keterangannya, Kamis (13/3).
Namun apakah Dwifungsi ABRI yang menjadi garda Orba sebelum tumbang oleh reformasi 1998?
Akar dari Dwifungsi ABRI bermula melalui gagasan almarhum Jenderal Besar TNI (Purn) AH Nasution yang menggagas konsep 'Jalan Tengah'. Pada pokoknya, pemikiran Nasution itu mendukung peran ABRI di luar kemiliteran.
Konsep itu menginginkan posisi prajurit militer tak hanya berperan sebagai alat pertahanan keamanan negara. Melainkan juga harus mampu menjalankan fungsi sosial-politiknya ikut dalam menentukan arah kebijakan politik negara.
Dwifungsi ABRI kemudian ditetapkan Presiden ke-2 RI Soeharto Pada era awal kepemimpinannya, dan juga diperkuat lewat Ketetapan MPRS Nomer II Tahun 1969.
Di masa Orde Baru, dominasi ABRI cukup kuat di pemerintahan kala itu. Di parlemen, mereka pun memiliki fraksi yang bernama Fraksi ABRI. Anggotanya berasal dari empat matra dalam ABRI, termasuk kepolisian.
Para prajurit yang masuk dalam Fraksi ABRI di DPR ini juga tidak dipilih melalui pemilu, melainkan lewat mekanisme pengangkatan.
Fraksi ABRI ini pun berganti nama menjadi Fraksi TNI-Polri setelah Soeharto lengser sebagai presiden pada 1998 silam. Anggotanya juga berangsur dikurangi.
Barulah pada Pemilu 2004, fraksi yang mewakili prajurit di DPR itu dihilangkan. Seluruh anggota DPR merupakan mereka yang terpilih melalui pemilu.
Penghapusan Dwifungsi ABRI juga disebut sebagai amanat Reformasi 1998, di mana semangat demokratisasi dan supremasi sipil sangat menggebu saat itu.
Dan, akhirnya penghapusan Dwifungsi ABRI itu dilakoni Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Di bawah kepemimpinannya, Gus Dur melakukan reformasi dalam tubuh ABRI yang telah berubah jadi bernama TNI.
Keputusan itu pun mengakibatkan anggota TNI harus melepaskan peran sosial-politiknya, sehingga prajurit militer aktif tak lagi bisa berpartisipasi dalam politik partisan maupun menempati jabatan sipil.
Pada masa kepemimpinannya yang seumur jagung itu (1999-2001), Gus Dur juga memisahkan Polri dengan TNI yang tertuang dalam Tap MPR Nomor VI/MPR/2000.
Wanti-wanti menghindari bangkitnya Dwifungsi ABRI pun sempat diucapkan Presiden keenam RI Jenderal TNI (HOR) (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal itu disampaikannya untuk mengingatkan apablila ada prajurit aktif yang ingin berpolitik agar keluar dulu dari insititusi pertahanan tersebut.
SBY mengaku ingat pengalamannya ketika menjabat Ketua Reformasi ABRI. Dalam semangat reformasi, kata dia, TNI aktif tabu untuk memasuki dunia politik atau politik praktis.
"Mendengar itu saya jadi ingat, karena dulu waktu saya masih di militer, dalam semangat reformasi, TNI aktif itu tabu untuk memasuki dunia politik, politik praktis. Itu salah satu doktrin yang kita keluarkan dulu, pada saat reformasi ABRI, yang saya menjadi tim reformasinya, ketua tim reformasinya, kami jalankan," kata SBY dalam pengarahan kepada 38 Ketua DPD Partai Demokrat di kediamannya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Minggu (23/2).
"Benar, saya tergugah, terinspirasi, kalau masih jadi jenderal aktif misalnya, jangan berpolitik. Kalau mau berpolitik, pensiun," imbuh dia.
Merespons isu akan kembalinya dwifungsi ABRI, beberapa waktu lalu pemerintah melalui Kemenhan menegaskan tak ada niat untuk kembali menghidupkannya seperti zaman Orde Baru.
"Mungkin yang perlu diingat adalah bahwa dari Kementerian Pertahanan dan TNI itu tidak ada sama sekali niat untuk yang dikhawatirkan masyarakat ya, bahwa ada dwi fungsi TNI atau mengembalikan dwi fungsi ABRI," kata Kepala Biro Informasi Pertahanan Kementerian Pertahanan (Kemhan) Brigadir Jenderal Frega Wenas Inkiriwang di Kantor Kemhan, Jakarta, Selasa (25/2).
Frega mengatakan Kemhan dan TNI memiliki prinsip berpikir untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Baginya, kedaulatan negara itu bukan hanya secara fisik, namun bentuknya sudah mulai berevolusi dengan kompleks. Mulai dari kedaulatan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan digital.
Ia juga mengatakan bicara kedaulatan bukan hanya bicara secara pertahanan militer saja, melainkan banyak aspek nirmiliter yang memang harus dipadukan.
Frega juga mengatakan Kemhan dan TNI bekerja mengikuti prosedur dan pengkajian. Apabila ada permintaan dari kementerian ataupun dari pemerintah merekrut personel TNI membantu, maka TNI akan berdiri atas politik negara.
"Kemhan dan TNI menjalankan politik negara untuk kepentingan bangsa Indonesia. Intinya untuk kedaulatan, keutuhan wilayah," katanya.
(mnf/kid)