Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor nikel yang memberikan andil terbesar terhadap hililarisasi pada realisasi investasi malah mendapat banyak tantangan pada tahun ini.
Sebagaimana diketahui, dalam beberapa tahun terakhir sejak ekspor bijih nikel dihentikan pada 2020, sektor ini kemudian sangat gencar ekspansi membangun smelter di dalam negeri dengan bantuan investasi dari asing. Hal ini sering kita sebut sebagai hilirisasi
Tak dipungkiri hilirisasi berhasil memberikan andil besar terhadap realisasi investasi pada 2024.
Total investasi yang masuk ke Indonesia dalam setahun terakhir mencapai Rp1.714,2 triliun atau tumbuh 20,8% year on year (yoy). Sementara khusus hilirisasi, total investasinya adalah Rp407,8 triliun (23,8%) atau tumbuh 8,63% secara yoy.
"Secara whole year 2024, 23,8% ini angkanya cukup konsisten, tahun lalu kurang lebih 22%," ungkap Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani dalam konferensi pers, Jumat (31/1/2025)
Foto: Materi paparan dalam Konferensi Pers Capaian Realisasi Investasi TW IV Tahun 2024. (Dok. Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM)
Materi paparan dalam Konferensi Pers Capaian Realisasi Investasi TW IV Tahun 2024. (Dok. Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM)
Dan, dari hilirisasi itu komponen yang menyumbang paling besar adalah smelter mineral dengan nominal Rp245,2 triliun. Dari nilai itu, nikel menjadi kontributor terbesar mencapai Rp153,2 triliun.
Sayangnya, dari nilai investasi besar itu, sektor nikel ini malah menghadapi harga komoditas yang makin turun.
Merujuk data Tradingeconomics pada penutupan Kamis kemarin (30/1/2025) harga komoditas acuan nikel berada di US$ 15.380 per ton. Posisi masih di sekitaran level terendahnya sejak empat tahun lalu.
Foto: Tradingeconomics
Harga komoditas nikel per 30 Januari 2025
Harga nikel yang terus merosot merupakan imbas dari kelebihan pasokan yang berkepanjangan. Ini merupakan hasil dari lonjakan proyek smelter di Indonesia, oleh karena itu pemerintah kita saat ini sedang mempertimbangkan untuk memangkas pasokan nikel jadi 150 juta ton dibandingkan tahun lalu sebanyak 240 juta ton.
Salah satu analis nikel dunia, Jim Lennon dari Macquarie, London, jika Indonesia memangkas produksi bijih nikel sampai 150 juta ton, maka harga nikel dunia bakal melesat ke level US$ 20.000 per ton, dari saat ini di kisaran US$ 15.000 per ton.
Sayangnya, kebijakan itu tampaknya belum bisa di respon positif oleh harga, mengingat banyak kontroversi yang terjadi di lingkup pelaku usaha.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) akhirnya buka suara, khususnya mengenai rencana pemerintah yang akan memangkas produksi bijih nikel pada 2025.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menilai akan ada efek domino jika kebijakan pemangkasan tersebut benar-benar dilakukan pemerintah.
Menurutnya, ini akan menimbulkan gangguan dan kekhawatiran di kalangan investor dan perusahaan. Pasalnya, pemerintah sudah menyetujui Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahunan untuk periode 2024-2026.
"Contoh tadi saya bilang, perusahaan (nikel) sudah dapat (izin RKAB) 10 juta (ton per tahun). Berarti kan kita sudah melakukan persiapan, baik dari feasibility tadi sudah ada, kemudian laporan eksplorasi sudah ada, laporan keuangan sudah ada, kita sudah merencanakan anggaran baik alat, baik produksi, baik manpower, untuk kapasitas RKAB yang sudah disetujui," jelasnya kepada CNBC Indonesia dalam program Mining Zone, dikutip Kamis (30/1/2025).
"Jadi (perusahaan nikel) sudah dapat RKAB-nya untuk 2025, misalnya 10 juta ton. Kan tidak mungkin ditarik kembali kan? Kan sudah disetujui, ini bisa jadi chaos gitu kan," ujarnya.
Kedua, bila produksi dipangkas, tapi di sisi lain ada kenaikan biaya, seperti adanya mandatori pencampuran biodiesel 40% (B40), tanpa subsidi, sehingga akan menambah biaya pengadaan bahan bakar.
"Penggunaan bahan bakar B40. Berarti sudah naik lagi ya. Berarti setelah kita hitung, cost produksi kita itu ada kenaikan. Peningkatannya itu hampir 30%," ucapnya. "Saya makin rugi. Mendingan saya freeze sementara. Kalau saya freeze, berarti kan kembali penerimaan negara, dapat dari mana," tandasnya.
Di sisi lain, permintaan terhadap nikel juga masih belum bisa menyerap supply yang berlebih saat ini.
Sebagai contoh saja, dari Tiongkok yang saat ini memiliki teknologi baru di mana baterai sudah bisa tidak menggunakan nikel. Lalu, pengumuman terbaru setelah Presiden Amerika Serikat (AS) dilantik, Ia mencabut mandat kendaraan listrik.
Sementara itu, dari dalam negeri masih ada tantangan yang dihadapi industri nikel ini dari beberapa kebijakan baru pemerintah.
Sebut saja, baru-baru ini pemerintah telah merevisi kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) menjadi 100% dan wajib disimpan selama satu tahun.
Hal tersebut memang potensi menambah devisa negara yang akan menguatkan nilai tukar, tetapi untuk pelaku bisnis nikel sekilas ini bisa membuat cash flow tidak flesibel apalagi jika ada peningkatan bahan baku dan lainnya.
Sejauh ini, kebijakan DHE memang masih akan digodok lagi oleh pemerintah beserta Bank Indonesia (BI) untkuk menyiapkan instrumen yang membuat eksportir tetap punya cashflow yang fleksipun, meskipun menempatkan DHE 100%.
Selain ada, masih ada isu soal kenaikan royalti tambang nikel yang menjadi kekhawatiran pelaku industri nikel.
Awalnya, isu perihal rencana kenaikan royalti nikel menjadi 15% dibeberkan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan bahwa para penambang nikel di Indonesia mengeluhkan kebijakan baru pemerintah tersebut di awal tahun 2025 ini. Dia menyebutkan rencana naiknya royalti nikel menjadi 15% itu akan mengurangi keuntungan dari penambang.
"Kemarin kami dapat isu lagi, royalti yang tadi saya sebut 10% akan naik 15%," katanya usai Rapat Pleno dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Rabu (24/1/2025).
Namun, sejauh ini belum ada kejelasan mengenai isu kenaikan royalti ini oleh pemerintah.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan bahwa pihaknya akan mengecek terlebih dahulu kebenaran isu yang menjadi kekhawatiran para penambang nikel di Indonesia. "Saya cek dulu," jelas Yuliot saat dikonfirmasi perihal isu kenaikan royalti nikel menjadi 15%, ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, dikutip Kamis (30/1/2025).
Senada dengan Yuliot, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Julian Ambassadur Shiddiq menyebutkan pihaknya belum mengetahui isu rencana kenaikan royalti nikel menjadi 15%.
Lantas, Apa Kabar Saham Nikel?
Melihat banyaknya tantangan dari sektor nikel ini, sederet saham yang memiliki bisnis mineral ini juga kena dampaknya.
Seperti terlihat dalam tabel di bawah ini, mayoritas pergerakan harga saham nikel masih berada di zona merah, kecuali PT Ifishdeco Tbk (IFSH) yang sahamnya terus melaju, bahkan dalam sebulan terakhir ini sudah naik lebih dari 50%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(tsn/tsn)