Jakarta,CNBC Indonesia- Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang dimulai pada 2018 di bawah kepemimpinan Donald Trump menjadi salah satu konflik perdagangan paling menguras perhatian dalam sejarah modern. Konflik serupa dikhawatirkan kembali terulang di periode kedua Trump pada tahun ini.
Pada 2018, dengan penerapan tarif yang besar-besaran dan ancaman berkelanjutan dari kedua belah pihak, hubungan ekonomi antara kedua negara besar ini mengalami turbulensi yang jauh dari selesai meskipun berbagai kesepakatan damai telah dicapai.
Perang dagang yang dicanangkan oleh Presiden Donald Trump terhadap China pada 2018 bukanlah hal yang baru dalam sejarah hubungan perdagangan internasional.
Trump mengklaim bahwa China telah menguntungkan dirinya melalui praktik perdagangan yang tidak adil, menyebabkan defisit perdagangan yang besar bagi AS. Pemberlakuan kenaikan tarif impor karena defisit perdagangan AS dengan China terus membengkak.
Berbeda dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya yang berfokus pada diplomasi ekonomi, Trump memilih jalur konfrontasi dengan mengenakan tarif terhadap produk-produk China, mulai dari baja dan aluminium hingga produk-produk teknologi canggih.
Ini adalah upaya untuk memaksa China mengubah kebijakan internalnya terkait pencurian kekayaan intelektual dan transfer teknologi yang tidak adil.
Tarif impor yang pertama kali diberlakukan pada Januari 2018 menandai dimulainya periode ketegangan baru. Tarif senilai US$60 miliar pun diumumkan, yang langsung dibalas oleh China dengan mengenakan tarif pada barang-barang AS.
Seiring berjalannya waktu, konflik ini semakin membesar dengan tarif tambahan yang dikenakan kedua negara. Pada 2019, AS bahkan mengancam untuk mengenakan tarif tambahan terhadap produk-produk China senilai US$300 miliar, sementara China juga meningkatkan tarif pada produk-produk AS.
Sejarah Perang Dagang AS-China, Dari Perang Tariff ke Tarik Ulur Perdagangan Global
Namun, perang dagang ini tidak dimulai oleh Trump. Sejarah ketegangan perdagangan antara AS dan China jauh lebih panjang.
Sebelum Trump mengambil langkah drastis pada 2018, keluhan tentang perdagangan tidak seimbang antara kedua negara sudah ada sejak lama.
Pada 2014, Trump sudah menyuarakan kekesalannya melalui media sosial, menegaskan bahwa China bukan teman baik AS dan bahwa praktik perdagangan negara itu merugikan AS. Bahkan dalam kampanye presiden 2016, China menjadi isu utama yang digunakan Trump untuk menarik perhatian pemilih.
Namun, kesulitan dalam menyelesaikan perselisihan ini telah terjadi sejak dekade-dekade sebelumnya. AS kerap mengeluhkan China tentang masalah-masalah seperti subsidi negara untuk industri-industri tertentu, manipulasi mata uang, dan kebijakan perdagangan yang tidak transparan.
Pada 2001, setelah China bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), ada harapan bahwa China akan mengikuti aturan-aturan perdagangan internasional. Sayangnya, banyak yang merasa bahwa China tidak sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip ini, yang kemudian menjadi bahan bakar ketegangan.
Ketika Trump memulai perang tarifnya, dampaknya tidak hanya terasa di AS dan China. Konflik ini memengaruhi pasar global, mengubah rantai pasokan internasional, dan membuat harga barang-barang konsumen melonjak. Sektor-sektor seperti pertanian, otomotif, dan teknologi di AS menjadi sasaran utama dari kebijakan tarif tersebut.
Petani AS, misalnya, merasakan dampak berat dari tarif yang diterapkan oleh China terhadap produk-produk pertanian AS yang bernilai miliaran dolar. Begitu juga dengan industri teknologi yang mengandalkan pasokan komponen dari China.
Selain itu, ada juga dampak yang lebih luas terhadap ekonomi global. Negara-negara yang terhubung erat dalam perdagangan dengan kedua negara besar ini, seperti Jepang dan negara-negara Uni Eropa, juga merasakan dampak.
Dampak ke RI
Indonesia juga dapat terdampak atas kebijakan tarif Trump. Jika tarif ini tidak berjalan dengan baik atau berdampak buruk bagi banyak negara di dunia, maka ekonomi Indonesia berpotensi terkena imbasnya dan akan mengalami kesulitan. Pasalnya ekspor barang Indonesia ke China maupun yang langsung ke AS akan menjadi semakin mahal.
Sebagai catatan, ekspor Indonesia ke AS melonjak 15,3% di era Trump dari US$16,14 miliar pada 2016 menjadi US$18,62 miliar pada akhir 2020. Kenaikan ini lebih tinggi dibandingkan empat tahun terakhir era Barack Obama yang hanya naik 8,52%.
Secara otomatis, jika barang yang diekspor Indonesia ke China, AS, maupun negara lainnya menjadi lebih mahal dari saat ini, maka barang-barang Indonesia berpotensi tidak laku di pasar internasional dan salah satu caranya untuk mengantisipasi hal ini yakni dengan mendevaluasi nilai tukar rupiah.
Apabila hal tersebut dilakukan, maka perusahaan-perusahaan di Indonesia yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS akan semakin terbebani dan memperburuk neraca keuangan perusahaan.
Alhasil, banyak yang khawatir bahwa perang dagang ini akan memperlambat pertumbuhan ekonomi global. Bahkan, banyak pengamat yang menilai bahwa strategi Trump ini berisiko memperburuk hubungan global yang telah terjalin melalui kerjasama perdagangan multilateral.
Meski pada Januari 2020 kedua negara menandatangani kesepakatan dagang fase pertama, masalah yang mendasari perang dagang ini tidak sepenuhnya teratasi. Meskipun China sepakat untuk membeli lebih banyak barang dari AS dan melakukan reformasi dalam hal transfer teknologi, A
S tetap khawatir tentang praktik-praktik perdagangan China yang belum berubah secara signifikan. Sementara itu, tarif yang sudah diterapkan tetap menjadi bagian dari ketegangan yang ada.
Keputusan WTO yang menganggap AS melanggar aturan perdagangan dunia pada 2020 semakin menambah tekanan internasional terhadap kebijakan perdagangan Trump.
Namun, hingga kini, perang dagang ini masih menjadi bagian dari kebijakan ekonomi global yang penuh ketidakpastian. Trump 2.0, dengan segala kebijakan proteksionisnya, telah meninggalkan warisan yang akan terus membentuk pola perdagangan internasional di masa mendatang.
Perang dagang antara AS dan China adalah contoh nyata dari bagaimana persaingan global tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh strategi politik dan kebijakan domestik.
Perang tarif yang dimulai oleh Trump menjadi simbol ketegangan perdagangan yang lebih besar, yang tidak hanya melibatkan dua negara besar tetapi juga berpengaruh pada seluruh perekonomian dunia.
Seiring berjalannya waktu, pertanyaan yang muncul adalah apakah dunia akan mampu menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan untuk mengatasi ketegangan perdagangan ini, atau apakah akan terus terjebak dalam siklus kebijakan proteksionis yang merugikan banyak pihak.
Perang Dagang Trump 2.0
Trump akan menerapkan kenaikan tarif impor yang telah lama direncanakannya atas barang-barang dari Kanada, Meksiko, dan China. Tarif tersebut diharapkan mulai berlaku pada hari Selasa, 4 Februari 2025.
Meksiko, China, dan Kanada adalah negara terbesar penyumbang impor ke AS. Meksiko bahkan menjelma menjadi penyuplai barang impor terbesar ke AS pada 2023. Kondisi ini belum pernah tercatat dalam sejarah AS selama 20 tahun.
Meksiko masih menjadi penyuplai impor terbesar sepanjang tahun ini. Nilai impor dari Meksiko menembus US$ 475,216 miliar pada 2023. Angka tersebut
Pada hari Sabtu (01/02/2025), Trump menandatangani perintah yang mengenakan tarif sebesar 25% atas impor dari Meksiko dan Kanada, serta bea masuk sebesar 10% atas produk China.
Sementara itu, sumber daya energi dari Kanada akan menerima tarif sebesar 10%. Sebagai catatan, nilai perdagangan AS dan tiga negara ini mencapai total US$ 1,6 triliun per tahun.
Untuk diketahui, tarif adalah bea yang dikenakan pada barang asing yang dibayar oleh importir AS. Para ekonom secara umum menentang kebijakan tarif ini, dengan alasan bahwa tarif mengakibatkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen dalam negeri.
Namun, Trump telah lama mempromosikan tarif sebagai cara untuk menegosiasikan kesepakatan yang lebih baik dengan mitra dagang AS. Dia pun menegaskan kebijakan ini dilakukan demi melindungi industri dalam negeri dari persaingan asing, dan mendapatkan pendapatan.
Di Ruang Oval pada wawancara di hari Jumat, Trump mengatakan keputusannya untuk mengenakan tarif pada barang-barang dari Kanada, Meksiko, dan China adalah "murni ekonomi". Namun, para ekonom khawatir hal ini dapat 'menyalakan' kembali inflasi pada saat tampaknya tekanan harga mulai mereda.
Menanggapi hal ini, pemerintah China mengecam pengenaan tarif bea masuk tambahan sebesar 10% atas barang ekspornya. Kendati dikenakan tarif yang lebih tinggi, China tetap membuka pintu untuk perundingan dengan AS.
Ini diyakini dapat menghindari konflik yang semakin dalam. Beijing akan menentang tarif Presiden Donald Trump dan membawa masalah ini ke meja Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
China menegaskan akan mengambil "tindakan balasan" yang tidak ditentukan sebagai tanggapan atas pengenaan tarif tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Kementerian Keuangan dan Perdagangan China.
Tidak hanya China, Kanada dan Meksiko pun siap memberikan balasan.
Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengatakan negaranya akan membalas tarif baru Trump dengan mengenakan tarif sebesar 25% pada barang-barang AS mulai dari minuman hingga peralatan.
Adapun, Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum telah memerintahkan tarif pembalasan. Dalam posting yang panjang di X, Sheinbaum mengatakan pemerintahnya menginginkan dialog daripada konfrontasi dengan tetangganya ini, tetapi Meksiko terpaksa menanggapi dengan cara yang sama.
"Saya telah menginstruksikan menteri ekonomi saya untuk melaksanakan rencana B yang telah kami kerjakan, yang mencakup tindakan tarif dan non-tarif untuk membela kepentingan Meksiko," tulis Sheinbaum, tanpa merinci barang-barang AS apa yang akan menjadi target pemerintahnya.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)