Zaman Transformasi Besar: Kesadaran yang Hilang atau Peluang Sejarah?

2 hours ago 1

Image Oase kata

Agama | 2025-09-19 08:22:56

Oleh: Fahmi Salim

Direktur Baitul Maqdis Institute – Ketua Umum Fordamai

Pendahuluan

Siapa pun yang membaca sejarah dengan saksama akan menemukan bahwa salah satu ciri paling menonjol dari bangsa-bangsa yang hidup dalam peristiwa besar adalah ketidakmampuan mereka untuk menyadari sifat zamannya hingga sejarah itu berlalu. Umat manusia umumnya tidak memahami besarnya perubahan ketika mereka masih berada di dalamnya. Kesadaran itu baru muncul setelah peristiwa selesai dan menjadi bahan kajian para sejarawan.

Hari ini, kita hidup di salah satu fase transformasi terbesar dalam sejarah umat Islam. Pertanyaannya: apakah kita benar-benar menyadari apa yang sedang terjadi, atau kita justru mengulangi kesalahan generasi sebelumnya yang gagal memahami zamannya hingga terlambat?

Sejarah dan Pelajaran dari Transformasi

Perubahan besar yang membentuk peradaban atau menghancurkannya jarang terlihat jelas pada masanya. Renaisans Eropa, misalnya, baru disebut "renaisans" setelah puluhan tahun berlalu. Begitu pula "Abad Pertengahan" atau "Zaman Pencerahan" – semua label itu diberikan secara retrospektif. Sedangkan orang-orang yang hidup di dalamnya hanya merasakan peristiwa-peristiwa terpisah tanpa melihat benang merah yang menyatukannya.

Fakta historis ini membuat kita lebih bertanggung jawab hari ini. Apa yang kita alami bukan sekadar rangkaian kejadian, melainkan sebuah lukisan besar yang sedang membentuk wajah baru sejarah umat manusia, khususnya umat Islam.

Dari Kolonialisme ke Berdirinya Israel

Lebih dari satu abad terakhir, dunia Arab dan Islam berada di bawah bayang-bayang transformasi besar yang dimulai dengan kolonialisme Barat. Penjajahan bukan hanya penguasaan militer atas tanah, tetapi juga proyek untuk membentuk ulang wilayah ini -rekonfigurasi- secara politik dan budaya. Salah satu hasil paling berbahaya dari proyek itu adalah berdirinya negara Israel di jantung Palestina – bukan karena perang konvensional, tetapi sebagai perpanjangan langsung dari kolonialisme Barat.

Keberadaan Israel tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu bergantung pada dukungan militer, intelijen, dan politik dari Barat. Apa yang kita lihat hari ini dalam perang Gaza – kapal-kapal perang Barat yang berlabuh di Laut Tengah – membuktikan bahwa konflik ini bukan lokal, melainkan bagian dari peta besar pertarungan global.

Peleburan Budaya Modern: Lebih Berbahaya dari Penjajahan Militer

Penjajahan masa lalu atas wilayah dunia Islam – seperti serangan Mongol atau Perang Salib yang terjadi hampir berhimpitan di rentang abad 11 hingga 13 masehi – memang meninggalkan luka besar, tetapi tidak berhasil merenggut identitas keagamaan dan budaya umat Islam. Bahkan sering kali justru sebaliknya: penjajah asing akhirnya masuk Islam (dalam kasus Mongol dengan mualafnya Berke Khan, cucu Hulagu Khan pada tahun 1250-an M) atau mundur dengan kekalahan (dalam kasus tertawannya Raja Louis IX dari Perancis di Battel of Mansourah di Mesir dalam Perang Salib VII pada 7 April 1250 lalu dibebaskan dengan harga tebusan yang sangat mahal pada 6 Mei 1250).

Sekadar pengingat, penjajah klasik seperti Mongol pada masa itu adalah bangsa penakluk, tetapi kekuatan utamanya ada pada militer, bukan pada ilmu pengetahuan dan sistem keyakinan yang kuat. Sehingga pada akhirnya, orang-orang Mongol ini terpengaruh oleh agama dan kebudayaan bangsa yang ditaklukkannya yaitu Islam. Agak berbeda dengan bangsa-bangsa Frank Eropa yang didominasi Katolik, bukan hanya kuat secara militer tapi juga secara ilmu pengetahuan dan system keyakinan.

Namun, kolonialisme modern berbeda sama sekali. Kolonialisme Prancis dan Inggris pada abad 19-20 masehi datang dengan proyek budaya yang masif. Pada awal abad ke-20, banyak anak muda Muslim dikirim ke Eropa untuk belajar ilmu pengetahuan, hukum, dan budaya Barat. Sayangnya, mereka kembali bukan hanya dengan ilmu, tetapi dengan kekaguman berlebihan terhadap Barat – jauh melampaui sekadar transfer teknologi.

Muncullah kelas “elit” yang mengadopsi budaya Barat dan bahkan menjadi juru bicara peradaban Barat di negeri-negeri Muslim. Mereka menguasai media, pendidikan, dan kebudayaan, serta mempropagandakan gagasan bahwa Islam hanyalah masa lalu yang ketinggalan zaman, sementara modernitas hanya bisa dicapai dengan meniru Barat. Seruan itu menggema di dunia Islam disuarakan oleh Mustafa Kemal di Turki tahun 1924, Ali Abdul Raziq dengan buku al-Islam wa Ushul al-Hukm yang terbit tahun 1925, hingga Taha Husain dalam buku Mustaqbal al-Tsaqafah fi Misr yang terbit tahun 1938 di Mesir.

Abad ke-20: Dari Kemerosotan ke Kebangkitan

Abad ke-20 adalah masa penuh pasang surut. Perang Dunia 1 tahun 1914-1918 dan Perang Dunia 2 tahun 1938-1945, kondisi umat Islam babak belur dan terpuruk, puncaknya saat deklarasi negara zionis Israel tanggal 15 Mei 1948 di atas tanah historis Palestina. Tahun 1950-an dan 1960-an menjadi titik terendah: ideologi sosialisme dan nasionalisme Arab mendominasi, ateisme merebak, kesadaran agama melemah, jilbab jarang terlihat, dan pendidikan agama merosot. Seolah-olah umat Islam kehilangan jati dirinya.

Namun, kekalahan telak negara-negara Arab pengusung sosialisme dan pan-arabisme tahun 1967 lawan Israel telah membongkar kepalsuan slogan nasionalisme. Israel menghancurkan angkatan bersenjata Arab hanya dalam hitungan hari, bahkan menghancurkan pesawat-pesawat tempurnya sebelum sempat mengudara. Dua tahun kemudian, pembakaran Masjid Al-Aqsha semakin menambah luka pada tanggal 21 Agustus 1969.

Di balik penderitaan itu, benih-benih gerakan Islam kembali tumbuh. Dari sinilah lahir slogan “kebangkitan Islam” pada 1970-an dan 1980-an, yang mengembalikan agama ke ruang publik, menghidupkan dakwah, pendidikan, dan politik Islam di negeri-negeri muslim. Di Indonesia, negeri muslim terbesar di dunia, islamisasi sosial menyeruak di awal 1980 dengan maraknya penerbit buku Islam, kajian-kajian Islam di kampus-kampus sekuler. Pak Natsir, tokoh sentral umat Islam yang sempat dimusuhi rejim orde baru karena masuk ke dalam inisiator Petisi 50, memformat kebangkitan Islam itu ke dalam tiga pilar: masjid, pesantren dan kampus perguruan tinggi. Hingga puncaknya dirangkul oleh Presiden Soeharto dengan pergi haji tahun 1990, berdirinya ICMI dan Bank Islam pertama ‘Muamalat’ tahun 1991, lalu kabinet ‘ijo royo-royo’ Pak Harto tahun 1992-1997 yang dianggap puncak kemesraan umat Islam dengan pemerintah orde baru.

Kebangkitan Islam: Naik, Lalu Meredup

Kebangkitan Islam bukan sekadar fenomena dakwah, tetapi sebuah kekuatan sosial dan intelektual besar. Energinya terlihat jelas dalam jihad Afghanistan melawan Uni Soviet. Ribuan pemuda Muslim berbondong-bondong datang untuk berjihad pada rentang tahun 1979-1991, dan saat itu iklim internasional tidak menentang ‘jihad’ Afghanistan karena musuh bersama adalah komunisme.

Namun, seiring berjalannya waktu, kebangkitan ini menghadapi tantangan besar. Ia ditakuti oleh rezim-rezim lokal yang khawatir kehilangan kekuasaan, sekaligus menjadi target proyek global yang memandangnya sebagai ancaman.

Pasca 11 September: Perang terhadap Akar Islam

Serangan 11 September 2001 menjadi titik balik sejarah. Amerika Serikat dan Barat memulai perang global, bukan hanya terhadap kelompok militan, tetapi terhadap seluruh akar Islam yang dianggap bisa melahirkan perlawanan. Afganistan (2001) dan Irak (2003) diduduki, kurikulum pendidikan Islam diubah, ulama ditekan terutama di basis-basis kaum konservatif di Teluk, lembaga-lembaga charity Islam dibekukan asetnya, simbol-simbol Islam dicurigai, dan Islam politik dilabeli sebagai terorisme. Semua dilakukan atas nama ‘global war on terorism’. Efek dominonya terasa di Indonesia dengan munculnya islamophobia di negeri muslim terbesar dunia, sejak 2001 dan meningkat dalam 1 dekade terakhir (2014-2024), gila!

Perang yang berlangsung hampir seperempat abad ini (2001-2025) melemahkan kebangkitan Islam sedikit demi sedikit. Namun, ia juga membuka mata generasi baru bahwa konflik ini bukan sekadar melawan organisasi atau kelompok tertentu yang tertuduh, melainkan menyangkut identitas umat Islam itu sendiri.

Kondisi Terkini: Puncak Transformasi

Hari ini, setelah seratus delapan tahun proyek kolonialisme (1917-2025) dan dua puluh lima tahun perang global atas nama “memerangi terorisme” (2001-2025), kita berada di puncak transformasi besar. Perang Gaza hanyalah salah satu manifestasi paling jelas dari konflik panjang antara umat Islam dengan kekuatan kolonialisme dan hegemoni global.

Transformasi ini tidak terbatas pada dunia Arab saja, tetapi merambah ekonomi global, politik internasional, hingga tatanan nilai kemanusiaan modern. Dunia sedang dibentuk ulang, dan umat Islam harus menyadari bahwa mereka berada di tengah pusaran sejarah.

Penutup: Seruan untuk Kesadaran dan Basirah

Kesalahan terbesar seorang Muslim hari ini adalah hidup seakan-akan zaman ini normal dan stabil. Padahal, kita berada di era luar biasa – era di mana peta, aliansi, dan identitas berubah secara radikal. Tidak semua orang harus menjadi analis politik atau ahli strategi. Tetapi setiap Muslim wajib memiliki kesadaran bahwa kita sedang hidup di tengah transformasi besar, dan hanya dengan kembali pada akar Islam kita dapat bertahan dan membangun masa depan.

Sejarah tidak pernah memaafkan orang yang lalai, dan tidak pernah menunggu mereka yang ragu. Sekali lagi, tingkatkan kesadaran dan kepekaan zaman, jika tidak maka umat ini akan tergilas dan terlindas zaman. Na’udzubillah.

Perang Gaza 2023 sangat besar dampaknya pada kebangkitan Islam menuju fase pembebasan dari era mulkan jabri (istilah khas hadis Nabi riwayat Ahmad no.273) atau malah terpuruk ke dalam jurang yang makin dalam. Apakah umat dan elit Islam memanfaatkan peluang emas ini atau malah menyia-nyiakannya? Insya Allah tulisan ini akan bersambung untuk menjawabnya.

Jakarta, 19 September 2025

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research