Ternyata Umat Hindu di Desa Bali Ini Gak Nyepi! Ini Penyebabnya

3 days ago 7

Jakarta, CNBC Indonesia - Setahun sekali, umat Hindu di Bali merayakan Nyepi. Di Hari Raya Nyepi, umat Hindu menghentikan aktivitas. Jalanan kosong. Bangunan tak boleh bercahaya. Listrik dan sinyal internet padam. Bahkan, bandara yang tempat lalu-lalang orang berhenti sementara waktu. 

Para warga dan pendatang yang berada di Bali juga harus menahan diri. Mereka tak boleh berkeliaran ke luar bangunan. Harus berdiam diri di rumah atau hotel hingga waktu Nyepi berakhir. Biasanya berlaku 24 jam alias seharian penuh. 

Secara filosofis, Nyepi merupakan momen ketika umat Hindu memohon kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk melakukan penyucian manusia berserta alam dan seluruh isinya. Lewat momen yang terjadi pada setiap 1 Tahun Saka ini, manusia akan disucikan dari semua jenis nafsu dan keserakahan. 

Setidaknya ada empat larangan Nyepi, yakni menyalakan lampu, melakukan kegiatan fisik atau pekerjaan, berpergian atau keluar rumah, dan menikmati hiburan atau bersenang-senang. Nyepi juga bukan merupakan rangkaian acara tersendiri. 

Hari Raya Umat Hindu ini tergabung dalam rangkaian upacara. Mulai dari penyucian diri (Melasti), mengusir bala (Tawur Kesangka), lalu Nyepi, dan berakhir bermaaf-maafan (Ngembak Geni). 

Nyepi Tak Wajib?

Meski begitu, ternyata tak semua umat Hindu di Bali merayakan Nyepi.

Ada juga yang tak merayakannya, yakni umat Hindu di Desa Tenganan. Dalam riset yang dipublikasikan oleh Universitas Kristen Satya Wacana diketahui, umat Hindu di Desa Tenganan tak merayakan Nyepi.

Mereka menganggap Nyepi tak wajib dipenuhi oleh krama desa. Mereka juga menganggap tak wajib melakukan Ngaben. Ngaben merupakan upacara besar yang dilakukan untuk membakar mayat. Namun, umat di Desa Tenganan tak melakukannya. Mereka memilih mengubur jenazah. 

Meski begitu, mereka tetap menjaga toleransi. Saat umat Hindu lain melakukan Nyepi, mereka juga menahan diri untuk tidak beraktivitas supaya tidak mengganggu sesama. Masih mengutip riset dari Univesitas Kristen Satya Wacana, perbedaan tersebut bisa terjadi karena Desa Tenganan punya perjalanan sejarah berbeda dari desa-desa di Bali. 

Ketika Kerajaan Bali ingin menguatkan kekuasaan pada abad ke-14, mereka menyebarkan ajaran-ajaran kepada banyak komunitas Hindu di desa-desa. Ajaran itu kemudian mempengaruhi sistem sosial di banyak desa. Desa-desa yang berada di pesisir atau dataran rendah jadi paling besar pengaruhnya. Kelak, kelompok desa ini dikategorikan sebagai desa Bali Apanaga. 

Sementara, ada juga desa yang sedikit mendapat ajaran. Ini terjadi di desa-desa pegunungan, salah satunya Desa Tenganan, yang sulit ditembus orang. Jadi, mereka punya ajaran berbeda karena awalnya tak menerima ajaran baru dari penguasa dominan, termasuk soal pandangan Nyepi dan Ngaben. 

Dari sini, warga di Desa Tenganan masih mempertahankan serangkaian ritual tradisional dan kepercayaan berbeda dari mayoritas Hindu di Bali. 


(mfa/mfa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Produk Kosmetik Lokal Menjamur, Peluang Bisnis Makin Cuan

Next Article Duh! Bule Australia Bikin Resah di Bali, Berkeliaran Pakai Kolor

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research