REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fitur edit foto menggunakan kecerdasan buatan (Al) seperti yang ditawarkan platform Gemini kini menjadi tren. Pengamat media sosial Enda Nasution mengingatkan di balik keseruan mengikuti tren ini, ada risiko serius terhadap privasi dan keamanan data pribadi.
"Kalau menurut saya, di level pribadi bisa jadi ada kerugian. Salah satunya pencurian identitas, misalnya verifikasi wajah. Sekarang kan banyak layanan digital pakai verifikasi wajah. Nah, kalau data wajah kita sudah tersebar luas, itu sudah bisa difabrikasi," kata Enda saat dihubungi Republika.co.id, Senin (15/9/2025).
la menjelaskan, dengan banyakya foto wajah yang tersebar di internet, seseorang bisa dengan mudah mengumpulkan data visual untuk membuat konten palsu menggunakan teknologi deepfake. Bahkan, kata Enda, kini seseorang bisa membuat video seolah-olah dibintangi oleh orang lain hanya dengan memasukkan skrip dan data visual yang cukup.
"Kalau ada orang yang nyimpen foto kita banyak, itu bisa langsung di-feed. Sudah ada aplikasinya untuk bikin video dari satu wajah, asal punya cukup data. Bisa jadi pembaca berita, pemain film, atau konten kreator digital, bahkan tanpa kita terlibat langsung," kata Enda.
Menurutnya, risiko semacam ini makin besar ketika seseorang secara aktif membagikan foto atau video wajahnya di berbagai platform media sosial, seperti Instagram, TikTok, dan Facebook. Dengan begitu, data wajah menjadi mudah diakses dan digunakan tanpa izin.
Namun, Enda menilai kekhawatiran yang lebih besar justru terletak pada pengumpulan data wajah secara masif oleh perusahaan-perusahaan teknologi untuk melatih model Al mereka. "Yang lebih dikhawatirkan sebenarnya adalah akumulasi data jutaan wajah orang Indonesia yang kemudian jadi bahan untuk latihan mesin Al. Sekarang juga sudah terjadi sebenarnya, wajah-wajah yang di-generate Al itu bisa jadi dari data kita," kata dia.
Enda menyoroti data wajah yang digunakan itu sejatinya milik individu, tetapi kerap dimanfaatkan oleh perusahaan tanpa persetujuan maupun kompensasi bagi pemilik data. "Data itu sebenarnya milik kita, tapi digunakan oleh perusahaan-perusahaan Al ini tanpa konsen dan tanpa timbal balik ke kita. Nah, itu yang secara kolektif harusnya mulai kita pikirin," kata Enda.
Di sisi lain, ia mengimbau pengguna agar lebih bijak dan berhati-hati dalam berbagi informasi pribadi, terutama wajah, di ruang digital. Menurutnya, konsistensi dalam menjaga privasi sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan identitas digital.
"Kalau kita sudah posting ke media sosial, wajah kita bisa digunakan. Perlu kehati-hatian jangan sampai identitas kita dicuri atau dimanfaatkan oleh orang lain," kata Enda.