
Oleh : Fathurrochman Karyadi, Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta, dan Naracara di Kiswah Soul Pesantren
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernahkah Anda beribadah di Masjidil Haram dan merasakan pengalaman audio yang begitu menakjubkan? Suara imam terdengar jernih dan merata, menyelimuti setiap sudut ruang tanpa ada gema yang mengganggu atau distorsi yang memecah konsentrasi. Pengalaman spiritual itu, rupanya, tidak lepas dari sentuhan teknologi audio yang canggih.
Dani Rahadian, seorang santri alumnus Tebuireng Jombang yang bergelut lama di dunia musik dan audio, menyoroti hal ini dengan kagum. "Sistem audionya bisa membuat suara terdengar sama di beberapa titik. Itu bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari ilmu dan perencanaan yang matang," ujarnya.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.Renungannya tentang suara di Tanah Suci itu menjadi pintu masuk yang menarik untuk membahas sebuah topik yang kerap disempitkan yakni kontribusi santri di luar bidang keagamaan yang konvensional.
Lantas, apa hubungannya pengalaman audio di Makkah dengan dunia pesantren? Jawabannya terletak pada sosok Dani sendiri. Perjalanannya menuju pesantren justru dimulai tanpa pretensi menjadi ahli agama.
"Saya ke pondok bukan sebetulnya mau mencari ilmu, melainkan menghindar, kabur dari Jakarta," akunya dengan jujur dalam Kiswah Soul Pesantren. Tiba-tiba saja, seorang anak Jakarta yang tidak punya latar belakang keluarga santri terdampar di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Di situlah kejutan pertama menghampirinya. Alih-alih menemukan lingkungan yang kaku dan tertutup, Dani justru menemukan ruang berekspresi yang luas.
"Pesantren itu sangat terbuka. Ada pencinta alam, band, marching band, teater, seni, olahraga, dan lainnya. Saya justru mengasah musik di sana, dan mendapat guru yang sangat mumpuni di bidangnya," kenangnya.
Pengalaman Dani ini menyentuh salah satu keunggulan tersembunyi dari kehidupan pesantren, kemampuannya menjadi miniatur Indonesia. Sebuah laboratorium hidup tempat seseorang belajar berinteraksi dengan ragam manusia dari berbagai suku, budaya, dan karakter.
"Kita banyak ketemu orang-orang yang beda suku, beda daerah, beda karakter. Itu kita pelajari tanpa sadar karena tiap hari ketemu," tambah Dani. Pelajaran informal inilah yang menjadi bekal berharga saat mereka keluar dan terjun ke dalam dunia sosial yang sesungguhnya.
Ikatan yang terbangun di pesantren bukan sekadar hubungan permukaan, melainkan sebuah bonding yang kuat dan tulus, yang kemudian menjelma menjadi jaringan solidaritas yang nyata dalam kehidupan.
Dunia pesantren, dalam narasi ini, bukanlah menara gading yang terpisah dari modernitas. Justru, semangat egaliter dan dialogis yang diajarkan di banyak pesantren, seperti Tebuireng dan Tambakberas, mendorong santri untuk berpikir kritis dan kreatif. Seperti yang disinggung juga oleh Mas Rizal dalam Kiswah #74 ini, ada perbedaan yang jelas antara ranah etika (hormat pada kiai) dan ranah akademis (di mana perdebatan pemikiran diperbolehkan). Lingkungan inilah yang melatih mental dan kepercayaan diri santri untuk bergaul dengan siapa saja, dari kalangan mana saja.
Dengan bekal itulah Dani membangun kariernya. Hasratnya pada musik membawanya menjadi musisi, composer, hingga ahli pembuat amplifier dan gitar yang karyanya diakui hingga tingkat internasional. Meski jalurnya "keluar dari pakem", semangat pengabdiannya tidak luntur. Perhatiannya kini tertuju pada sesuatu yang ia anggap sebagai panggilan, menata sistem audio masjid-masjid di Indonesia.
"Saya prihatin. Sound system yang tidak nyaman bisa mengganggu kekhusyukan. Padahal, ini hal penting," tuturnya. Bersama teman-temannya, ia aktif merenovasi sistem audio masjid. Baginya, ini adalah bentuk nyata dari kontribusi yang bisa ia berikan, memadukan keahlian teknisnya dengan nilai pengabdian yang ia dapat dari pesantren.
Pada akhirnya, kisah Dani Rahadian mengajarkan kita bahwa menjadi santri adalah soal jiwa dan dedikasi, bukan sekadar atribut atau profesi. Kontribusi bukan hanya lantunan ayat suci tapi juga bisa dalam gelombang suara di sebuah amplifier. Ini tentang keberanian untuk berjuang dengan cara yang unik dan personal.
Dari pengalaman spiritual di Masjidil Haram hingga getar gitar di studio rekaman, semangat itu tetap sama: belajar, berbagi, dan mengabdi untuk kemaslahatan yang lebih luas. Tak berlebihan jika kita sebut bahwa ini merupakan wajah santri yang sesungguhnya, sebuah teladan bahwa dedikasi tidak pernah hanya memiliki satu bentuk.

9 hours ago
2












































