Jakarta, CNBC Indonesia - Menyambut Lebaran warga Indonesia banyak melakukan transaksi untuk menyemarakkan Hari Raya. Sebut saja seperti beli baju baru, mudik, hingga memasak makanan khas Lebaran.
Fenomena seperti ini sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan menuai beragam reaksi. Salah satunya dari orang-orang Belanda pada masa kolonial yang menganggap tradisi Lebaran warga Indonesia adalah pemborosan.
Orang Belanda tersebut adalah Stienmetz dan De Wolff yang kebetulan menjadi pejabat pemerintahan. Dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Jilid IV (1991), diketahui keduanya mengaku keberatan atas tradisi lebaran oleh warga Muslim Indonesia. Sebab, banyak pegawai pribumi yang mengadakan pesta lebaran secara besar, tetapi modalnya dari meminjam uang.
Selain itu, terkadang perayaan lebaran juga digelar oleh bupati di kantor pemerintah yang memakai kas negara. Pemakaian kas negara tentu saja membuat kas menjadi boncos. Atas dasar ini, keduanya mengajukan larangan perayaan lebaran dengan mengacu pada aturan kolonial yang melarang penggunaan kas negara untuk kegiatan tidak penting.
Namun, usulan ini dikritik oleh Snouck Hurgronje yang menjabat sebagai penasehat agama Islam pemerintah kolonial Belanda.
"Tidak ada alasan tepat untuk mengadakan imbauan agar membatasi perayaan lebaran. [...] Bahkan, dengan cara itu pun (pelarangan) belum tentu orang akan dapat lebih membangkitkan hasrat berhemat," kata pria yang menjabat sebagai penasihat agama Islam tersebut, dikutip dari Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Jilid IV (1991).
Selama di Indonesia dari tahun 1900-an, Snouck melihat tradisi Lebaran sudah melekat dengan warga Indonesia. Di Aceh, misalnya, warga banyak membeli baju ketika Lebaran.
Dalam Aceh di Mata Kolonialis (1906), Snouck bercerita kalau pasar penjualan baju dan barang sejenis di akhir masa puasa jauh lebih dipadati warga dibanding penjualan daging atau hewan.
Hal ini bisa terjadi, kata Snouck, karena setiap orang ingin berbaju baru pada hari raya. Pasalnya, dalam budaya Aceh, kasih sayang atau penghargaan suami ke anak atau istri diukur dari barang belanja dari pasar, mulai dari daging hingga baju baru.
Selain di Aceh, pria kelahiran 1857 itu juga mengamati ada kejadian serupa di Batavia (kini Jakarta). Dalam surat kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri tanggal 20 April 1904, Snouck menulis bahwa saat lebaran terdapat banyak pesta yang disertai hidangan makanan khas lebaran, silaturahmi ke kerabat, pembelian pakaian baru, dan hiburan.
Bahkan, Snouck juga mencatat, pembelian pakaian baru, petasan dan makanan bisa memakan uang lebih banyak dibanding hari biasanya. Hal ini bisa terjadi karena warga menganggap Lebaran sebagai hari yang istimewa.
"Di antara hari-hari peringatan yang sekali setahun berulang dan yang bagi seluruh penduduk berlaku demikian, Lebaran yang mengakhiri ibadah puasalah yang paling terkemuka, dan itu tak dapat dibantah," tulis Snouck, dikutip dari Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Jilid IV (1991).
(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini: