Narasi Baru Perbankan Syariah

2 hours ago 1

Oleh: FirmanJatnika, Ketua Komite Sertifikasi dan Kompetensi Asbisindo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam literatur klasik Islam Muqaddimah, Ibnu Khaldun berabad-abad lalu mengingatkan bahwa keadilan distribusi adalah fondasi peradaban. Bila kekayaan hanya berputar di lingkaran sempit, produktivitas masyarakat melemah dan negara kehilangan daya dorong.

Oleh karenanya, kestabilan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan suatu negara sangat ditentukan cara pemerintahnya mengelola keuangan publik.

Ibnu Khaldun menulis, “Pada tahap awal suatu negara, pajak ringan namun menghasilkan penerimaan besar; pada tahap akhir, pajak berat justru menurunkan penerimaan” (Ibn Khaldun, The Muqaddimah, terj. Rosenthal, 1967).

Pesan klasik yang menjelaskan hubungan antara beban pajak, insentif kerja, dan pertumbuhan ekonomi inilah yang menjadi dasar pemikiran Presiden Ronald Reagan ketika membangun dan mengeksekusi program ekonomi untuk memulihkan Amerika Serikat yang dilanda stagflasi: inflasi mencapai 13,5 persen pada 1980 dan tingkat pengangguran melonjak hingga 10,8 persen pada akhir 1982 (Bureau of Labor Statistics, Historical Data).

Reagan merespons dengan strategi pemotongan pajak melalui Economic Recovery Tax Act 1981, deregulasi, dan mendorong logika “supply-side economics” yang sejalan dengan pandangan Ibn Khaldun— penurunan beban fiskal akan memulihkan energi produktif masyarakat.

Namun, keberhasilan Reaganomics tidak datang tanpa kontroversi. Pertumbuhan ekonomi dan pasar modal serta optimisme investor ternyata tidak merata.

Dalam kolomnya di The New York Times, peraih Nobel ekonomi, Krugman menulis, meski terjadi ledakan ekonomi pada pertengahan 1980-an, “kaum kaya menjadi jauh lebih kaya, namun perbaikan ekonomi berkelanjutan bagi mayoritas rakyat Amerika nyaris tidak ada.

Pada akhir 1980-an, pendapatan kelas menengah hampir tidak lebih tinggi dibanding satu dekade sebelumnya, sementara tingkat kemiskinan justru meningkat.

”Kritik ini menegaskan, kebijakan fiskal dan moneter tidak hanya diukur dari pertumbuhan dan stabilitas makro, tetapi juga dari dampaknya terhadap pemerataan kesejahteraan masyarakat.’’

Dalam konteks Indonesia hari ini, gagasan itu kembali relevan. Pemerintah baru memerlukan instrumen ekonomi yang mampu menghadirkan pertumbuhan tinggi sekaligus pemerataan.

Di tengah diskursus Sumitronomics—arah kebijakan yang menekankan stabilitas makro, kemandirian fiskal, dan pertumbuhan inklusif—bank syariah bisa ditawarkan sebagai winning proposition.

Bukan sekadar alternatif, bank syariah bisa menjadi instrumen ekonomi pemerataan keuangan rakyat yang konkret, melalui pembiayaan produktif UMKM, layanan haji dan umrah yang masif, serta inovasi produk halal investment.

Dari sini tampak jelas, dalam masa sulit pemulihan ekonomi tidak bisa hanya digantungkan pada kebijakan pemerintah semata.

Diperlukan kolaborasi semua pelaku ekonomi—terutama perbankan dan dunia usaha—untuk menjadi katalis pemulihan, menjaga kepercayaan, serta menyalurkan energi produktif ke sektor riil.

Seperti dalam pandangan Ibn Khaldun, negara hanya akan kuat jika masyarakatnya ikut menopang; demikian pula krisis ekonomi modern hanya dapat diatasi jika bank, pebisnis, dan pemerintah berjalan dalam harmoni strategi yang sama.

Warisan Kebijakan dan Momentum Baru

Di bawah kepemimpinan Wakil Presiden Prof KH. Ma’ruf Amin, ekonomi syariah menempati panggung strategis.

Lahirnya Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), penguatan literasi keuangan, serta merger tiga bank syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) menandai fondasi kelembagaan yang kokoh. Namun, fondasi kelembagaan itu kini memerlukan napas baru.

Ketua Dewan Pengawas Asbisindo, Muliaman D Hadad, dalam acara serah terima jabatan Ketua Umum Asbisindo dari Hery Gunardi kepada Anggoro Eko Cahyo pada 24 September 2025, menekankan perlunya Asbisindo menyampaikan winning proposition kepada pemerintah baru.

Ia menyoroti tiga agenda strategis Asbisindo: (1) memperluas inklusi keuangan syariah melalui edukasi dan literasi dengan kolaborasi multi-pihak serta platform sinergi yang terarah; (2) mempercepat implementasi teknologi dan digitalisasi guna mengembangkan produk syariah yang inovatif, kompetitif, dan memiliki diferensiasi jelas dengan dukungan sistem IT yang andal; dan (3) memanfaatkan momentum dengan rasionalitas kebijakan yang memudahkan, yang keseluruhannya dikemas dalam tema besar “Regaining New Energy for New Islamic Ecosystem.”

Proposisi ini, bila dikaitkan dengan arah kebijakan “Sumitronomics” yang menekankan stabilitas makro, kemandirian fiskal, dan pertumbuhan inklusif, membuka peluang bagi perbankan syariah untuk naik kelas—dari sekadar pelengkap sistem keuangan, menjadi instrumen nyata kebijakan publik dan akselerator pemerataan ekonomi nasional.

Peluang tersebut bukan hal yang mengada-ada tampak dari perkembangan perbankan syariah Indonesia pada akhir 2024 berhasil mencatat aset sekitar Rp 980,30 triliun, tumbuh 9,88 persen YoY, dengan market share meningkat menjadi 7,72 persen dari 7,44 persen setahun sebelumnya.

Intermediasi tetap kuat: pembiayaan mencapai sekitar Rp 643,55 triliun, naik 9,92 persen YoY, dan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp 753,60 triliun, tumbuh sekitar 10 persen YoY, jauh melampaui pertumbuhan rata-rata industri bank konvensional.

Tak kalah penting, porsi pembiayaan ke sektor UMKM oleh perbankan syariah telah mendekati 16-17 persen dari total portofolio pembiayaan secara nasional yang menunjukkan komitmen kuat bank syariah untuk membangun UMKM.

Lebih jauh, fungsi countercyclical yang dilakukan perbankan syariah terlihat di saat pandemic COVID-19 melanda (2020–2021). Ketika industri perbankan nasional hanya tumbuh tipis bahkan sempat mengalami kontraksi di sisi kredit, pembiayaan syariah justru tumbuh positif di atas 9 persen YoY.

Bahkan aset perbankan syariah masih meningkat hingga Rp 676 triliun pada 2021, atau naik hampir 14 persen dibandingkan 2020, dengan kualitas pembiayaan terjaga di bawah NPF gross 3 persen (OJK, Statistik Perbankan Syariah 2021).

Hal ini menunjukkan perbankan syariah relatif lebih tahan terhadap guncangan siklus bisnis karena model bisnis berbasis sektor riil, keterbatasan eksposur pada instrumen derivatif, serta hubungan langsung dengan usaha mikro dan kecil.

Dengan momentum pertumbuhan aset mendekati Rp 1.000 triliun, capital adequacy ratio (CAR) kuat di atas 25 persen, serta stabilitas risiko yang terjaga, perbankan syariah Indonesia kini berada pada titik krusial untuk benar-benar naik kelas: dari niche player menjadi pilar sistem keuangan nasional yang mendukung agenda Sumitronomics—yaitu pertumbuhan tinggi yang inklusif sekaligus berkeadilan.

Dalam konteks ini, teori rational expectations mengajarkan, perilaku pelaku ekonomi banyak dipengaruhi persepsi.

Jika pengamat, regulator, dan media memberi narasi positif bahwa bank syariah adalah instrumen pemerataan dan stabilitas, maka masyarakat akan lebih cepat mengadopsi produk syariah.

Karena itu, strategi komunikasi kebijakan menjadi sama pentingnya dengan produk itu sendiri. “Regaining New Energy for New Islamic Ecosystem” harus dijalankan bukan hanya sebagai slogan, melainkan policy narrative yang konsisten.

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research