MK Tolak Gugatan Batasan Ketua Parpol Maksimal 2 Periode

2 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 22 dan Pasal 33 ayat (1) Undang-undang tentang Partai Politik (UU Parpol) mengenai masa jabatan pimpinan partai politik yang dilayangkan oleh advokat sekaligus anggota DPW PKB Aceh Imran Mahfudi.

"Amar putusan: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Perkara Nomor: 194/PUU-XXIII/2025, Kamis (27/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menuturkan Pemohon mengaitkan frasa "dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai AD dan ART" dalam norma Pasal 22 UU Parpol dengan tidak adanya pembatasan periodisasi masa jabatan kepengurusan partai politik.

Daniel menjelaskan MK pernah mempertimbangkan dan memutus norma terkait dengan masa jabatan pimpinan organisasi Advokat dalam Putusan Nomor: 91/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Oktober 2022.

Dalam pertimbangan hukum di paragraf 3.13 sampai dengan paragraf 3.16, Mahkamah telah menegaskan untuk mewujudkan tegaknya prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, advokat memiliki peran dan fungsi yang sama dengan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan, sehingga periodisasi masa jabatan pimpinan organisasi advokat perlu diatur secara eksplisit.

Di sisi lain, terang Daniel, sekalipun organisasi advokat dan partai politik berada dalam ranah infrastruktur politik sebagaimana dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.12.2] di atas, namun keduanya memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda.

Sebagai salah satu badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksudkan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, organisasi advokat tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan organisasi lain, termasuk secara vis a vis dengan partai politik.

"Artinya, dalil Pemohon yang menghendaki pembatasan periodisasi masa jabatan pimpinan partai politik dengan mendasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XX/2022 adalah tidak tepat," ucap Daniel.

Dia mengatakan norma Pasal 22 UU 2/2008 yang mengamanatkan kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah adalah upaya pembentuk Undang-undang untuk mengedepankan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat dalam proses pengisian kepengurusan partai politik.

Namun demikian, kata Daniel, amanat tersebut harus dituangkan dalam Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) suatu partai politik.

Dengan konstruksi norma Pasal 22 UU Parpol dimaksud, jalan untuk musyawarah untuk mencapai mufakat menjadi pilihan pertama yang seharusnya dilakukan dalam proses pengisian kepengurusan partai politik.

Selain itu, berbagai kemungkinan model pengisian kepengurusan partai politik harus diatur secara eksplisit dalam AD/ART partai politik.

Pada titik itu, ruang untuk melakukan perbaikan proses pengisian partai politik dapat dilakukan oleh setiap anggota dalam perumusan materi atau substansi AD/ART partai politik.

"Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon berkenaan dengan pembatasan masa jabatan kepengurusan partai politik sebagaimana pada frasa 'dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai AD dan ART' dalam Pasal 22 UU 2/2008 dengan menggunakan logika pertimbangan Putusan MK Nomor: 91/PUU-XX/2022 perihal periodisasi masa jabatan pimpinan organisasi advokat bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum," ungkap Daniel.

Dalil perselisihan internal parpol

Mahkamah menyatakan untuk memahami Pasal 33 ayat (1) UU Parpol harus didahului dengan memahami substansi Pasal 32 UU Parpol yang memiliki makna penyelesaian perselisihan partai politik yang bersifat internal dilakukan oleh suatu Mahkamah Partai yang harus diselesaikan paling lama 60 hari secara expressis verbis adalah telah jelas.

Sekalipun dalam permohonan a quo terdapat alasan yang berbeda untuk menegaskan atau memperjelas kapan Pengadilan Negeri (PN) berwenang atau dalam keadaan seperti apa PN telah berwenang untuk mengadili sengketa internal partai politik yang beririsan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4) UU Parpol yang menyebutkan "Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari".

Artinya, batasan waktu 60 hari dimaksud harus dipahami sebagai batas waktu paling lambat bagi Mahkamah Partai untuk menyelesaikan sengketa internal partai politik sejak perselisihan diajukan oleh anggota partai politik kepada Mahkamah Partai Politik.

Jika dalam jangka waktu dimaksud tidak tercapai penyelesaian perselisihan, maka pihak-pihak yang berselisih dapat menempuh upaya lain, termasuk memilih jalur hukum.

Terhadap dalil pemohon a quo, Mahkamah belum memiliki alasan yang kuat dan mendasar untuk mengubah pendirian sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor: 78/PUU-XIII/2015.

Oleh karena itu, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XIII/2015 mutatis mutandis berlaku dalam pengujian norma a quo.

"Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon berkenaan dengan frasa 'tidak tercapai' dalam norma Pasal 33 ayat (1) UU 2/2011 yang menurut Pemohon menimbulkan ambigu dan multitafsir sehingga bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Daniel.

Sebelumnya, Imran Mahfudi memfokuskan pengujian pada frasa "dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai AD ART" dalam Pasal 22 UU Parpol dan frasa "tidak tercapai" dalam Pasal 33 ayat (1) UU Parpol.

Imran juga telah menyempurnakan bagian kewenangan Mahkamah dalam mengujikan Pasal a quo; hak anggota partai yang termuat dalam AD/ART PKB; penjelasan terkait keberadaan anggota pengurus partai untuk mengajukan permohonan dalam perkara ini; alasan tidak nebis in idem-nya pengujian norma ini.

Imran menjelaskan Pasal 22 UU Parpol belum pernah diajukan ke MK, sementara untuk Pasal 33 ayat (1) UU Parpol telah pernah diujikan dan diputus dalam Putusan MK 78/2015, namun memiliki ada alasan yang berbeda.

Berikutnya dia juga memperkuat status parpol sebagai organ yang memiliki urgensi konstitusional.

"Oleh karenanya, Pemohon menyempurnakan petitum permohonan, yakni ... menyatakan frasa 'dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai AD/ART' dalam Pasal 22 UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: 'dipilih secara demokratis melaui musyawarah untuk masa jabatan selama lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama baik secara berturut atau tidak sesuai AD/ART'. Menyatakan frasa 'tidak tercapai' dalam Pasal 33 ayat (1) UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: 'tidak tercapai termasuk jika Mahkamah Partai tidak melakukan penyelesaian perselisihan'," ucap Imran saat membacakan perubahan petitum permohonan dalam sidang yang berlangsung pada Selasa, 11 November 2025.

(fra/ryn/fra)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research