
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dwi Utami (Dosen Bidang Kimia Farmasi dan Bahan Alam, Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan)
Mikroplastik terdengar sepele, tapi dampaknya luar biasa bagi kesehatan manusia. Baru-baru ini, peneliti BRIN menemukan cemaran mikroplastik dalam air hujan di Jakarta. Temuan itu mempertegas kekhawatiran bahwa polusi plastik kini bukan hanya urusan laut atau sungai, tetapi juga udara yang kita hirup dan air yang kita minum.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.Plastik memang telah memudahkan hidup modern. Namun di balik kenyamanan itu tersembunyi ancaman kecil yang tak kasatmata: potongan plastik berukuran kurang dari lima milimeter yang kini menyatu dengan lingkungan dan tubuh manusia.
Menurut kajian global tahun 2025, emisi mikroplastik ke lingkungan mencapai 10-40 juta ton per tahun. Warga Indonesia rata-rata mengonsumsi sekitar 15 gram mikroplastik per bulan, terutama dari makanan dan air tercemar.
Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (ECOTON) bersama Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) juga melaporkan bahwa lima kota dengan tingkat kontaminasi tertinggi adalah Jakarta Pusat, Surabaya, Bekasi, Tangerang, dan Makassar.
Secara kimia, mikroplastik bukan sekadar serpihan plastik kecil. Ia membawa berbagai zat tambahan berbahaya seperti bisfenol A (BPA), ftalat, dan logam berat.
Zat-zat ini dapat larut dalam cairan tubuh, memicu stres oksidatif, peradangan, gangguan hormonal, bahkan meningkatkan risiko kanker. Dalam jaringan tubuh, partikel mikroplastik juga bisa mengganggu fungsi sel dan mempercepat penuaan dini pada organ.
Studi terbaru menunjukkan bahwa mikroplastik mampu menyerap polutan lain seperti pestisida, hidrokarbon aromatik polisiklik, dan senyawa perfluorinasi (PFAS). Akibatnya, mikroplastik berperan seperti 'magnet kimia' yang membawa berbagai racun masuk ke rantai makanan. Partikel sangat kecil (kurang dari 10 mikrometer) dapat terhirup ke paru-paru atau menembus dinding usus, lalu beredar melalui darah dan terdeteksi di jaringan paru, hati, bahkan plasenta manusia.
Selain itu, zat seperti BPA dan ftalat tergolong endocrine disruptor, pengganggu sistem hormon tubuh. Dalam jangka panjang, paparan senyawa ini dapat menimbulkan gangguan kesuburan, resistensi insulin, obesitas, hingga risiko kanker yang sensitif terhadap hormon seperti payudara dan prostat.
Meskipun mikroplastik tampak sulit dihindari, riset bahan alam memberi harapan baru. Berbagai senyawa bioaktif alami terbukti mampu menekan dampak toksik mikroplastik melalui mekanisme antioksidan dan detoksifikasi. Flavonoid seperti quersetin, katekin, dan luteolin, misalnya, mampu menangkap radikal bebas dan menstabilkan membran sel. Sementara itu, polisakarida laut seperti ulvan dari Ulva lactuca dan alginat dari Sargassum sp. dapat berfungsi sebagai penyerap alami yang mengikat logam berat dan mikroplastik di saluran pencernaan, sehingga mengurangi penyerapan ke dalam darah. Fenolik alami dari jahe, kunyit, dan temulawak juga bertindak sebagai chelating agent yang menetralkan logam beracun pada mikroplastik.
Selain melindungi tubuh, bahan alam juga menawarkan solusi pencegahan dari sumbernya. Biopolimer alami seperti polilaktat (PLA) dari pati jagung dan selulosa nanofiber dari limbah pertanian kini dikembangkan sebagai alternatif plastik biodegradable yang mudah terurai tanpa menghasilkan mikroplastik berbahaya.
Pendekatan berbasis bahan alam ini menunjukkan bahwa solusi atas bahaya mikroplastik tidak selalu bergantung pada teknologi tinggi. Alam telah menyediakan mekanisme pemulihan; tinggal bagaimana manusia mau mengoptimalkannya melalui riset, inovasi, dan perubahan perilaku.
Kini, tantangan terbesar bukan hanya bagaimana menyingkirkan mikroplastik dari bumi, tetapi bagaimana mengubah perilaku manusia yang menjadi sumber utamanya. Bijak menggunakan plastik, mengutamakan daur ulang, memilih kemasan ramah lingkungan, dan mendukung riset bahan alam berkelanjutan adalah langkah kecil yang berdampak besar.
Mikroplastik mungkin kecil, tapi ancamannya nyata. Harapan tetap ada jika manusia kembali belajar dari alam, tentang keseimbangan, tanggung jawab, dan kesederhanaan. Kita tidak sedang berperang melawan plastik, melainkan melawan ketidakpedulian kita sendiri. Dengan kesadaran kolektif, masa depan bebas mikroplastik bukan utopia, melainkan kemungkinan yang dapat kita wujudkan bersama.

9 hours ago
1












































