Cuaca Bak Neraka Bocor, Bule di Jakarta Ramai-Ramai Datangi Penjual Es

9 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Menghadapi cuaca panas yang terasa seperti neraka bocor, tak ada yang lebih nikmat selain ditemani sesuatu yang dingin. Entah itu dengan menenggak minuman segar atau berdiam diri di ruangan berpendingin udara. Namun, bagaimana jadinya jika seseorang tak bisa menikmati keduanya?

Tentu saja, itu akan menjadi siksaan tersendiri. Seseorang bakal kepanasan dan merasa tak nyaman. Begitulah yang dialami para bule di Jakarta ratusan tahun silam. Mereka yang terbiasa hidup di suhu dingin jelas mengalami penurunan kualitas hidup ketika harus tinggal di Jakarta. Teriknya matahari membuat mereka terus-menerus kegerahan.

Sebagai solusi, para bule kemudian ramai-ramai datangi penjual es batu. Namun, pembelian es batu pun bukan cara mudah. Sebab, sekitar tahun 1800-an, kulkas, lemari pendingin atau barang serupa belum masuk ke Hindia Belanda. Tak ada satupun orang yang mampu memiliki barang tersebut. 

Satu-satunya cara mendapatkannya adalah lewat impor alias membeli dari luar negeri. Es batu sebagai objek jual-beli dan komoditas impor di Hindia Belanda diprakarsai oleh Etienne Chaulan. Dia anak dari seorang koki di hotel ternama Batavia (kini Jakarta), yakni Hotel de Provence. 

Kala itu, dia menjadi importir es batu demi mencukupi kebutuhan Hotel de Provence. Hotel itu memang menyajikan es batu yang kemudian sangat digemari kepada para tamu supaya mereka nyaman dan tidak kepanasan ketika tinggal di Jakarta. 

"Es memang menjadi salah satu sajian andalan Hotel de Provence setiap malam yang secara khusus disajikan di Salon des Glace diiringi permainan musik," tulis Ahmad Sunjayadi dalam artikelnya "Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda" yang termuat dalam buku Titik Balik Historiografi di Indonesia (2008).

Sebagaimana diuraikan sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (2008), impor es batu di Hindia Belanda didatangkan dari Boston, Amerika Serikat. Es tersebut dibuat menggunakan prinsip pembekuan air menggunakan bantuan garam dan amoniak. Ketika sudah beku, es itu dicetak berbentuk balok.

Barulah saat tiba di Hindia Belanda, es balok itu dipecah sesuai fungsinya. Harian Bataviaasch Handelsblad (25 Agustus 1866) menyebut, es batu dihargai lima sen per 0,5 Kg. Ini harga yang cukup mahal pada masa itu. Namun, demi tidak kepanasan para bule tetap ramai-ramai melakukan pembelian ke para penjual es. 

Permintaan es batu dari Batavia tercatat mencapai ratusan ton. Tahun 1856, Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) alias Perusahaan Dagang Belanda pernah melakukan pengiriman 600 ton es batu dari Amerika Serikat.

Fungsi es batu kemudian lebih dari sekedar membuat para bule nyaman. Mereka juga menggunakan es batu untuk mengawetkan makanan hingga keperluan kesehatan. Sejak itulah, keran impor es batu terus terbuka sekalipun harganya mahal dan hanya orang kaya yang bisa membelinya ke pedagang. 

Namun, semua berubah ketika teknologi pembuatan es mulai masuk ke Hindia Belanda. Sejak akhir abad ke-19, pabrik-pabrik es mulai bermunculan. Awalnya hanya dimiliki orang Eropa, tetapi perlahan dibuka oleh para pengusaha China.  

Akhirnya, kemunculan pabrik es batu menutup keran impor dan membuatnya mudah diperoleh. Apalagi usai teknologi mesin pendingin alias kulkas mulai hadir sejak 1930-an. Dari sini, es batu kemudian tak hanya dinikmati para bule, tetapi rakyat kecil lain. 


(mfa/mfa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Lirik Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research