Catatan Cak AT: Frekuensi Adik-Kakak

5 hours ago 2
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Frekuesi Adik-Kakak. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Beginilah kalau presiden punya adik pebisnis: aroma kebijakan negara bisa berubah jadi wangi kue basah bisnis keluarga. Tak selalu busuk, tapi juga tak serta-merta harum.

Baru saja Hasyim Djojohadikusumo memenangkan tender frekuensi akses internet, Prabowo Subianto langsung menimpali: pemerintah akan pakai punya adiknya.

Hasyim —adik kandung sang presiden— memenangkan tender frekuensi 1,4 GHz senilai Rp403 miliar lewat perusahaannya, PT Solusi Sinergi Digital Tbk, berkode saham WIFI (agar terdengar akrab di telinga rakyat).

Pita frekuensi ini digadang-gadang mampu menghadirkan internet kecepatan 100 Mbps seharga Rp 100 ribu dari Jawa sampai Papua.

Baca juga: Hari Santri, Pionir Perubahan Sosial dan Kemajuan Bangsa

Sekilas terdengar heroik, seperti kisah penyelamat digital Nusantara. Tapi mari kita mengerti dulu: frekuensi 1,4 GHz ini bukan sekadar gelombang tak terlihat ciptaan Tuhan yang menari di udara.

Ia semacam jalur tol nirkabel bagi sinyal internet — cocok untuk _fixed wireless broadband_, alias internet tetap tanpa kabel.

Ia dipancarkan dari menara ke rumah-rumah warga. Posisinya di antara frekuensi rendah seperti 700 MHz (jangkauannya luas tapi lambat) dan frekuensi tinggi seperti 3,5 GHz (cepat tapi ngos-ngosan kalau nabrak tembok).

Maka 1,4 GHz ini disebut frekuensi “manis”: seimbang antara jangkauan dan kecepatan.

Artinya, internet dari “WIFI” ini bukan Wi-Fi yang biasa kita dapatkan di kafe atau di halte busway yang sudah ngadat, sambil numpang colokan. Ini jaringan besar berbasis radio frekuensi yang menggantikan peran kabel fiber optik, di kota hingga daerah yang sulit dijangkau akses internet.

Baca juga: Vokasi UI Hadirkan Congklak dalam GIM Digital Jaga Warisan Budaya

Kalau fiber optik itu jalan tol di darat dan laut — cepat tapi mahal karena harus gali tanah dan bentang kabel di tiang-tiang pancang hingga di bawah laut — maka 1,4 GHz ini jalan tol di udara: cukup cepat, cukup murah, asal rutenya tak dikuasai keluarga bangsawan.

Lalu bagaimana dengan Starlink? Nah, Starlink itu seperti pesawat luar angkasa — bisa menyapa pelosok Papua, tapi biaya langganannya bikin jantung bergetar. Frekuensi 1,4 GHz ini seperti helikopter logistik: tak setinggi Starlink, tapi bisa mendarat lebih dekat ke warga.

Dalam tender resmi, dua nama besar muncul: Surge (WIFI) milik Hasyim Djojohadikusumo untuk wilayah Jawa dan Papua — wilayah yang “gemuk” secara ekonomi. Pemenang satunya lagi MyRepublic, perusahaan akses internet milik grup Sinarmas, untuk jaringan 1,4 GHz wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa.

Surge (WIFI) belum menyebut siapa pemasok teknologinya — apakah Huawei, Ericsson, atau hasil karya anak bangsa dari laboratorium kampus. Sedangkan MyRepublic terang-terangan sudah menggandeng Huawei untuk jaringan broadband wireless access (BWA) berbasis frekuensi 1,4 GHz.

Baca juga: LEPAS Global Journey of Elegant Driving Sukses Menuju Gaya Hidup Elegan

Lalu tampillah Prabowo dengan pernyataan heroik: pemerintah tidak akan pakai Starlink, tapi akan pasang “WiFi” di setiap sekolah. Kalimat yang indah tapi penuh dilema semantik. Karena rakyat awam bisa bingung: WiFi yang mana dulu? WiFi teknologi, atau WIFI perusahaan adik presiden?

Padahal yang dimaksud Prabowo jelas: WIFI sebagai perusahaan merek dagang keluarganya. Tapi publik, tentu saja, tak semudah itu memisahkan istilah dari konteks politik. Maka pertanyaan pun mengalir: ini kebijakan negara, atau proyek keluarga besar Subianto–Djojohadikusumo Bersaudara?

Kita tak perlu buru-buru menuduh ada nepotisme. Tapi kita pun tak boleh pura-pura tuli terhadap potensi bahaya yang sama: kekuasaan dan bisnis berpelukan di ranjang kebijakan publik. Di India, Mukesh Ambani lewat Reliance Jio pernah membangun jaringan internet murah yang mengubah wajah negeri — dari desa hingga kota — tanpa perlu kakak presiden untuk membuka pintu istana.

Jika Indonesia meniru kisah sukses Jio, langkah Surge di frekuensi 1,4 GHz bisa jadi tonggak revolusi digital rakyat kecil: guru di pedalaman mengunduh bahan ajar tanpa _buffering_, siswa di lereng pegunungan ikut kelas daring tanpa menghadap langit, UMKM menjual produknya tanpa harus naik pohon mencari sinyal.

Baca juga: Wonderful Indonesia Wellness Festival 2025, Harmoni di Tanah Jawa

Tapi jika kebijakan ini berubah menjadi ladang rente yang dijaga oleh pagar restu politik, maka kita sedang membangun _Digital Oligarchy_ versi lokal — di mana koneksi rakyat diatur seperti distribusi sembako. Siapa yang dekat dengan gudang kekuasaan, dia yang cepat dapat sinyal.

Maka persoalannya bukan siapa yang menang tender, melainkan bagaimana transparansi dijaga. Jika benar jaringan murah ini menjangkau sekolah-sekolah terpencil tanpa markup dan tanpa markus, biarlah rakyat berterima kasih.

Tapi bila nanti sinyal 1,4 GHz hanya kencang di kawasan elit sementara Merauke tetap _buffering_, kita tahu: yang lancar bukan internetnya, melainkan koneksinya antar-keluarga.

Baca juga: Catatan Cak AT: Kado Emas Hari Santri

Karena itu, semoga ketika presiden berkata “WIFI untuk semua sekolah,” itu bukan slogan dari ruang kabinet ber-AC, melainkan langkah nyata yang membuat anak di pedalaman bisa belajar matematika tanpa menunggu sinyal sekuat doa ibunya.

Sebab kalau proyek ini gagal, rakyat tak butuh penjelasan soal spektrum atau pita frekuensi. Mereka hanya akan berbisik sinis, “Yang cepat bukan internetnya, tapi keluarganya.”

Dan jika bisikan itu berubah jadi teriakan, bukan karena rakyat benci, tapi karena mereka muak melihat nirkabel yang terlalu banyak kabel politiknya. (***)

Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 23/10/2025

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research