Catatan Cak AT: Duka Pesantren Buduran

1 hour ago 1
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Duka Pesantren Buduran. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Innalillahi wa inna ilayhi raji'un. Kita sedang menyaksikan duka yang menusuk hati.

Senin sore itu (29/9/2025), ketika lebih dari seratus santri Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, berdiri dalam barisan shalat Ashar berjamaah, tiba-tiba bumi seakan bergetar.

Dinding-dinding gedung yang masih dalam tahap pembangunan ambruk menimpa mereka.

Teriakan minta tolong terdengar dari balik puing-puing. Kepanikan luar biasa terjadi.

Suara sirine sekitar tiga puluh unit ambulan meraung-raung, bergantian masuk-keluar kampus yang dikelilingi bangunan-bangunan bertingkat.

Baca juga: Datang Tiba-tiba, Abu Bakar Ba'asyir Nasehati Jokowi Agar Mengabdi Pada Islam

Dengan sigapnya para petugas melarikan para santri ke Puskesmas dan rumah sakit terdekat. Tangisan wali santri menambah pekat suasana.

Menurut pengakuan Wahid, salah seorang santri, ruang mushala yang berada di lantai dua bangunan tersebut sempat bergoyang sebelum ambruk.

"Ketika masuk rakaat kedua, bagian ujung musala ambruk, lalu merembet ke bagian lain gedung," katanya kepada Antara.

Ia mengaku berhasil menyelamatkan diri dan mengajak santri lain untuk segera mengevakuasi diri.

Baca juga: Depok Dorong Pekerja Informal Terdaftar BPJS Ketenagakerjaan

Tragedi ini berlangsung bukan di sembarang tempat. Musibah ini menimpa salah satu pesantren tertua dan terhormat di Jawa Timur, yang sejak awal abad ke-20 dikenal dengan nama Pesantren Buduran.

Tak main-main, dari lingkaran pesantren ini lahir ulama kaliber pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari.

Di titik inilah kita sadar, musibah ini bukan sekadar peristiwa lokal. Luka yang ditinggalkan ambruknya mushala di Pondok Al Khoziny adalah luka nasional.

Kita tidak sedang berduka atas robohnya sebuah bangunan belaka, melainkan atas luka yang mencabik sebuah institusi peradaban. Bangunan bisa dibangun kembali, tetapi semangat para santri —penerus estafet ilmu dan dakwah— tak tergantikan.

Baca juga: Satuan Binmas Polres Garut Peringati Maulid Nabi Muhammad SAW di Ponpes Al Juhdi Malangbong

Tragedi ini menampar kita dengan pertanyaan serius: bagaimana mungkin di pesantren bersejarah, yang berakar dalam tradisi ulama besar, muncul masalah teknis pembangunan? Apakah kepercayaan diri kita pada "keikhlasan" dan "kepasrahan diri" sudah terlalu jauh, hingga mengorbankan asas keselamatan?

Didirikan oleh KH Raden Khozin Khoiruddin, yang akrab disebut Kiai Khozin Sepuh, pesantren ini berakar dalam tradisi ilmu dan sanad keilmuan pesantren Siwalanpanji. Pesantren Buduran yang kini diasuh generasi ketiga, KH Abdus Salam Mujib, Rais PCNU Sidoarjo, telah melewati perjalanan lebih dari satu abad.

Ia menjadi kawah candradimuka lahirnya tokoh-tokoh ulama besar Nusantara. Dari sinilah lahir nama-nama ulama besar lain seperti KH Abdul Wahab Hasbullah, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Usman Al Ishaqi, KH Nawawi, KH Umar, KH Ali Mas’ud, KH Abdul Majid Bata-bata, KH Dimyati Banten, dan deretan panjang ulama yang kelak mengisi sejarah bangsa ini.

Baca juga: Minta Maaf, Akhirnya Biro Pers Istana Kembalikan Kartu Liputan Diana Valencia

Pesantren Buduran bukan sekadar lembaga pendidikan. Ia adalah rahim peradaban yang melahirkan para penjaga agama, ilmu, dan bangsa. Dalam Haul Masyayikh tahun 2024, Kiai Salam Mujib menegaskan bahwa pesantren ini sudah ada sebelum tahun 1920, lebih tua dari ormas NU yang berdiri pada 1926. Artinya, ia bukan sekadar saksi lahirnya NU, tetapi juga rahim yang membentuk atmosfer keilmuan jauh sebelum NU berdiri.

Kesaksian seorang rombongan dari Yogyakarta yang datang untuk ngalab berkah menyingkap fakta sejarah: orang tuanya adalah santri pertama KH Moh Abbas bin KH Khozin Khoiruddin sekitar tahun 1920. Jika ia telah nyantri lima tahun pada masa itu, maka Pesantren Buduran bisa ditarik usianya sejak 1915.

Pesantren Buduran adalah warisan ilmu yang kini telah menyeberangi satu abad penuh. Dr Wasid Mansyur, penulis biografi KH Abdul Mujib Abbas, mengonfirmasi kebenaran kisah itu.

Artinya, apa yang kita sebut musibah ini, menimpa sebuah pesantren yang sesungguhnya menjadi penjaga tradisi keilmuan sejak era para pendiri bangsa.

Baca juga: Catatan Cak AT: Jurnalis Korban MBG (1)

Sejarah Pesantren Buduran telah mengajarkan arti keikhlasan, kesungguhan, dan keistiqamahan berjuang di jalan Allah: sanad ilmu yang tegak, peran sosial yang mendalam, serta ketekunan melahirkan ulama. Jangan sampai sejarah mulia ini dicederai oleh kelalaian segelintir teknisi bangunan dalam menjaga aspek paling dasar: keselamatan jiwa.

Hari ini kita menundukkan kepala dalam duka. Doa kita tertuju bagi keluarga besar Pesantren Buduran, bagi keluarga yang menjadi korban, dan bagi para santri yang masih dalam perawatan. Tak ada seorang pun dari kita menghendaki musibah seperti ini terjadi, sekaligus kita juga tak punya kuasa atas Kehendak Allah Swt.

Namun besok, sejarah akan menuntut kita untuk tidak membiarkan tragedi seperti ini sekadar jadi catatan kelam. Kita jadikan musibah ini titik balik untuk membangun pesantren yang tak hanya kuat dalam ilmu, tetapi juga kokoh dalam fisik, aman bagi santri-santrinya, dan sesuai dengan warisan tanggung jawab ulama-ulama pendirinya. (***?

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 29/9/2025

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research