3 hours ago
1
Remaja masa kini mengakses media sosial (ilustrasi). Dokter menilai media sosial memiliki peran besar dalam memperparah kondisi psikologis anak muda terutama generasi Z.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena kesehatan mental remaja di Indonesia dinilai semakin memprihatinkan, dari maraknya kasus perundungan hingga percobaan bunuh diri lantaran nilai buruk. Merespons hal ini, Founder of Health Collaborative Center (HCC) dr Ray Wagiu Basrowi, menilai media sosial memiliki peran besar dalam memperparah kondisi psikologis anak muda terutama generasi Z.
Dokter Ray mengatakan perkembangan teknologi menciptakan intergenerational gap yang jauh lebih lebar dibandingkan generasi sebelumnya. Pada era 1980 dan 1990-an, anak-anak hanya membandingkan dirinya dengan teman sekelas atau lingkungan terdekat. Namun kini, batas itu runtuh karena media sosial memperluas ruang perbandingan secara drastis.
"Seorang anak bisa membandingkan kaus kaki dia dengan kaus kaki Justin Bieber, ini kan tidak terjadi di generasi dulu. Jadi dinding-dinding pembatas atau kontrol keluarga dan kontrol intergenerational ini sudah luluh karena media sosial," kata dr Ray saat diwawancara Republika.co.id di kawasan Kuningan, Jakarta, Senin (8/12/2025).
Menurut dr Ray, media sosial memicu lahirnya budaya labeling pada remaja, yaitu kecenderungan menilai diri sendiri berdasarkan standar yang tidak realistis. Ketika standar tersebut tidak sesuai dengan realitas sosial sehari-hari, remaja mengalami tekanan untuk menormalkan sesuat yang tidak dapat mereka capai.
Labeling kemudian diperparah oleh budaya validasi yang tumbuh subur di platform digital. Menurut pengamatan dr Ray, remaja kerap mencurahkan frustrasi atau keluhannya ke media sosial, lalu menunggu respons dalam bentuk like dan komentar. Ketika tak mendapat respons yang diharapkan, mereka merasa ditolak oleh lingkungan lebih luas.
"Ketika remaja merasa tidak divalidasi, mereka akan merasa dimusuhi dunia. Lalu menarik diri dari pergaulan dan kehilangan dukungan sosial," kata dr Ray.
