Batu Bara Terendah 4 Tahun - Digoyang Tarif Royalti, Gimana Nasibnya?

1 week ago 10

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara makin jeblok dan sudah menembus ke bawah US$ 100 per ton. Selain harga komoditas yang menjadi tantangan, industri energi fosil ini juga akan menghadapi tantangan dari revisi tarif royalti.

Merujuk data Refinitiv, harga acuan batu bara ICE Newcastle untuk kontrak April 2025 berakhir di posisi US$ 99,60 per ton pada perdagangan kemarin Senin (25/3/2025), dalam sehari turun 1,34%.

Posisi itu juga menunjukkan harga batu bara berada di level terendah dalam empat tahun.

Penurunan harga batu bara disinyalir akibat produksi yang terus meningkat.

Dilansir dari asian-power.com, produksi batu bara India mencapai satu miliar ton (BT) pada 20 Maret, 11 hari lebih cepat dari total produksi tahun lalu sebesar 997,83 juta ton (MT), menurut Kementerian Batubara India.

Peningkatan tersebut didorong oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pertambangan batu bara, pelaku swasta, dan tenaga kerja berdedikasi sekitar 5 lakh pekerja tambang di lebih dari 350 tambang batu bara.

Pemerintah mengatakan batu bara menyumbang 55% dari bauran energi India, dengan 74% listrik dihasilkan dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.

Reformasi pemerintah, termasuk perubahan Undang-Undang Pertambangan dan Mineral (Pembangunan dan Regulasi) dan lelang batu bara sektor swasta, telah meningkatkan pasokan domestik. Dari April hingga Desember 2024, impor batu bara turun 8,4%, menghemat US$5,43 miliar (₹42.315,7 crore) dalam bentuk devisa.

Tonggak sejarah ini mendukung tujuan India untuk mencapai kemandirian energi di bawah visi Perdana Menteri Narendra Modi tentang 'Atmanirbhar Bharat' dan memperkuat dorongannya untuk keamanan energi jangka panjang.

Pro Kontra Tarif Royalti Batu bara

Sementara itu, dari dalam negeri sektor batu bara mengalami tekanan dari potensi kenaikan tarif royalti. Namun, jika melihat lebih detail, untuk usulan kenaikan ini ternyata di luar pemilik tambang dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Dari harga batu bara kini di US$ 99 per ton, maka pemegang IUPK dari sebelumnya membayar royalti 27%, akan mendapatkan keuntungan dengan membayar lebih rendah jadi 18%.

Sebaliknya, untuk non IUPK mereka malah akan dirugikan karena akan membayar tarif royalti lebih mahal. Seperti terlihat rinciannya dari tabel di bawah ini :

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba), Tri Winarno menyadari bahwa perubahan tarif royalti ini menuai pro-kontra. Khususnya, ketika perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) batu bara mengalami penurunan tarif royalti, sementara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) mengalami kenaikan tarif royalti.

"Lebih memberikan keadilan gitu ya," ujar Tri Winarno ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, dikutip Selasa (25/3/2025).

Tri mengungkapkan bahwa perubahan tarif royalti di sektor minerba dilakukan untuk menggenjot Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Terlebih target PNBP di tahun ini ditetapkan Rp 124,5 triliun.

"Oh tahun ini Rp 124,5 triliun. Kan harganya lagi jeblok ini," ujarnya.

Berdasarkan data Kementerian ESDM sejak tahun 2022 hingga 2024, PNBP dari minerba selalu lebih besar dibandingkan migas. Pada 2022 misalnya, minerba menyumbang Rp 180,4 triliun, sementara migas Rp 148,5 triliun.

Kondisi tersebut terus berlanjut pada 2023 dengan kontribusi minerba mencapai Rp 172,1 triliun, sedangkan migas Rp 117 triliun. Hingga 2024, sektor minerba masih mendominasi dengan capaian Rp 140,5 triliun, lebih tinggi dari migas yang tercatat hanya Rp 110,9 triliun.

Lantas, emiten batu bara mana saja yang memegang IUPK?

Menilai dari pro kontra kebijakan tersebut, kami lebih fokus terhadap emiten yang akan diuntungkan sebagai pemegang IUPK, yaitu PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dan PT Indika Energy Tbk (INDY).

Kami memperhitungan tarif royalti menjadi 18% dari posisi harga terkini yang akan mendapat manfaat paling optimal adalah BUMI dan INDY.
BUMI akan mendapat tambahan laba US$ 33,62 juta menjadi US$ 156,49 juta, dari pemangksan royalti sekitar 22% menjadi 18%.

Sementara INDY akan mencatatkan peningkatan laba paling signifikan hingga lebih dari dua kali lipat karena pendapatan emiten ini mayoritas di dapatkan dari batu bara, sehingga pemangkasan royalti memberikan tambahan ke laba sampai US$ 52,29 juta menjadi US$ 86,70 juta.

Sementara untuk AADI terbilang yang mendapat tambahan laba paling ciut, karena pada dasarnya tingkat royalti pada 2024 lalu sudah sebesar 19%nan.
Jadi jika dipangkas jadi 18%, dari total laba yang diatribusikan ke pemilik entitas induk hanya akan bertambah 5%, setara US$ 62,63 juta menjadi US$ 1,24 miliar.

Namun, perlu dipahami juga bahwa kebijakan atau usulan revisi tarif royalti itu masih dalam proses. Jadi, pengaruh utama bagi saham di sektor energi fosil ini masih lebih banyak dipengaruhi efek penurunan harga yang terus berlanjut. 

Di luar itu, pelaku pasar akan menantikan seberapa banyak dividen yang dibagikan dari laba tahun buku 2024. Hanya saja, kami mengantisipasi payout ratio lebih konservatif mengingat tantangan sektor ini masih cukup berat tahun ini. Jadi, laba akan lebih optimal digunakan sebagai laba ditahan untuk menambah kas dan modal guna memperkuat pondasi posisi keuangan mereka. 

CNBC INDONESIA RESEARCH 

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(tsn/tsn)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research