AS Vietnam Sepakat Dagang, Dong Malah Ambruk Terendah Sepanjang Masa

1 day ago 6

Jakarta, CNBC Indonesia - Vietnam dan Amerika Serikat (AS) baru saja menyepakati perjanjian tarif dagang terbaru, hanya beberapa hari menjelang tenggat waktu kebijakan tarif Trump.

AS akan memberlakukan sebesar 20% terhadap barang-barang asal Vietnam. Sebaliknya, AS memberikan tarif 0% untuk produk-produk nya yang masuk ke Vietnam. Ini diumumkan oleh Donald Trump langsung melalui media sosial miliknya, Truth Social. 

Selain itu, Vietnam juga menyetujui pengenaan tarif sebesar 40% untuk barang-barang asal negara lain seperti China, yang dikirim ke AS melalui Vietnam. 

Perlu diingat, pada awal penetapan resiprokal tarif, Trump memberikan tarif import dari Vietnam sebesar 46%. Tarfi tersebut kemudian turun menjadi 10% ketika Trump membuat "Tariffs Pause" selama 90 hari. 

Kesepakatan ini langsung memberi dampak terhadap mata uang Vietnam, Vietnam Dong. Melansir dari Refinitiv, pada Kamis (3/7/2025) per pukul 09.13 WIB, Vietnam dong berada di level 26.195/US$, atau melemah 0,17% dibandingkan penutupan hari Rabu (2/7/2025).

Bahkan, pada awal perdagangan, Vietnam dong sempat menyentuh level 26.229/US$. Ini merupakan level terlemah dalam sejarah nilai tukar Vietnam dong terhadap dolar AS atau bisa dibilang All Time Low. 

Sebagai tambahan informasi, Vietnam dong memang sedang mengalami tren pelemahan terhadap dolar AS. Apabila dihitung sejak awal tahun sampai hari ini Vietnam dong telah mengalami penurunan sebesar 6,76%.

Pelemahan nilai tukar dong terhadap dolar AS sekilas mirip dengan Jepang yang mana akan menguntungkan dari sisi ekspor dan pariwisata, Namun, realitas di lapangan tak sesederhana rumus di atas kertas.

Ekonomi Vietnam saat ini sangat bertumpu pada ekspor sebagai motor utama pertumbuhan. Sepanjang 2024, nilai ekspor Vietnam tercatat sebesar US$405,53 miliar, naik 14,3% dari tahun sebelumnya. Angka ini bahkan setara dengan sekitar 85% dari total PDB Vietnam, yang mencapai US$476,3 miliar. Tak berlebihan jika disebut bahwa roda ekonomi negeri ini sebagian besar digerakkan oleh lalu lintas barang ke luar negeri.

Kondisi ini mengingatkan pada Jepang di era 1970-1980-an, ketika ekspor menjadi ujung tombak pertumbuhan dan isu nilai tukar yen menjadi pembicaraan global. Tapi ada perbedaan besar yang perlu digarisbawahi. Jepang saat itu mengekspor produk-produk berteknologi tinggi dengan merek milik sendiri-sebut saja Toyota, Sony, hingga Panasonic. Dengan begitu, nilai tambah dan keuntungan besar langsung masuk ke perekonomian nasional mereka.

Sementara itu, Vietnam saat ini lebih banyak berperan sebagai pusat produksi global, bukan pemilik merek. Banyak perusahaan multinasional seperti Samsung, Nike, dan Foxconn memindahkan lini produksinya ke Vietnam. Barang yang diekspor memang tercatat dari Vietnam, tapi brand, kendali harga, dan margin keuntungan utamanya tetap berada di luar negeri. Dengan kata lain, meski ekspor tinggi, tidak semuanya berarti untung besar bagi ekonomi domestik.

Situasi makin kompleks karena sektor manufaktur Vietnam juga sangat tergantung pada bahan baku impor. Ketika mata uang melemah, ongkos impor pun ikut naik, yang berarti biaya produksi ikut terdongkrak. Jadi walaupun ekspor naik secara volume, margin keuntungan bisa tergerus. Belum lagi dampak ke masyarakat, pelemahan dong membuat harga barang impor naik, sehingga daya beli domestik ikut tertekan.

Hal ini juga sebenarnya terlihat pada pertumbuhan ekonomi Vietnam pada kuartal I-2025 sebesar 6,93%melambat dibanding akhir tahun lalu. Pada akhirnya, meskipun sekilas pelemahan mata uang tampak sebagai angin segar bagi ekspor, struktur industri Vietnam yang bergantung pada pihak asing dan bahan impor membuat manfaatnya belum sepenuhnya dinikmati secara nasional.

Ke depan, tantangan besar bagi Vietnam adalah bagaimana keluar dari peran sebagai "pabrik dunia" dan mulai bergerak ke arah pemilik inovasi dan merek sendiri, seperti yang pernah berhasil dilakukan Jepang beberapa dekade lalu.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research