Ahli di Sidang: Paulus Tannos Bisa Ditangkap Meski Telah Berstatus WNA

4 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Ahli Hukum Internasional dari Universitas Islam Indonesia (UII) Sefriani berpendapat Paulus Tannos alias Tjhin Thian Po tetap bisa ditangkap meskipun sudah berubah kewarganegaraan.

Demikian disampaikan Sefriani dalam sidang lanjutan Praperadilan yang diajukan oleh tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) tersebut, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (27/11). Paulus Tannos menguji proses penangkapan yang dilakukan KPK.

"Sekalipun seseorang punya dua paspor tidak serta merta dia punya paspor asing kemudian otomatis dia punya kewarganegaraan itu. Itu yang pertama," ujar Sefriani.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kedua, sekalipun seandainya dia kita anggap oke lah dia sudah WN asing bukan WNI lagi itu tidak menghilangkan kewenangan Indonesia untuk mencari, untuk kemudian diadili di Indonesia. Permohonan ekstradisi itu tidak akan hilang karena dia menjadi warga negara asing, karena kejahatannya dilakukan di Indonesia," sambungnya.

Menurut dia, Indonesia memiliki prinsip yang sangat kuat mengenai yurisdiksi teritorial, terlebih jika tindak kejahatan yang diperbuat oleh seseorang dilakukan di wilayah Tanah Air.

Atas alasan itu, dia menegaskan sekalipun seseorang telah mengganti kewarganegaraan menjadi warga negara asing, tidak serta merta menghilangkan permohonan ekstradisi yang sebelumnya diajukan.

"Karena pada saat dia melakukan [tindak pidana] dia WNI, sehingga sekalipun seandainya dia menjadi WNA tidak menghilangkan permohonan ekstradisi kita," katanya.

Selama proses ekstradisi terhadap Paulus Tannos di Singapura belum tuntas, terang dia, maka aparat penegak hukum Indonesia belum bisa langsung menangkap buron kasus E-KTP tersebut.

Pasalnya, Paulus Tannos saat ini masih berada di bawah kekuasaan otoritas pemerintah Singapura.

"Dan proses yang di sana bukan proses mengadili apa yang dia lakukan disini loh ya, itu proses nanti pada ujungnya mengabulkan atau menolak ekstradisi. Sama sekali tidak menyentuh pada kejahatan yang dia lakukan itu, tidak," tutur Sefriani.

Dalam sidang hari ini, KPK juga membawa dua ahli lain yaitu Riawan Candra (Ahli Administrasi Negara dari Universitas Atmajaya Yogyakarta) dan Erdianto (Ahli Hukum Pidana Universitas Riau atau UNRI).

KPK meminta hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Halida Rahardhini menolak atau setidak-tidaknya menyatakan tidak menerima permohonan Praperadilan yang diajukan oleh tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) Paulus Tannos.

Biro Hukum KPK mengatakan seluruh dalil permohonan Pemohon berkaitan dengan sah atau tidaknya penangkapan adalah prematur.

Paulus Tannos hingga saat ini disebut masih berstatus sebagai buron atau masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018, seseorang yang dinyatakan buron dilarang mengajukan Praperadilan.

Apabila permohonan Praperadilan tetap diajukan melalui keluarga atau kuasa hukum, maka hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan permohonan Praperadilan tidak dapat diterima.

Sementara itu, Kuasa hukum Paulus Tannos, Damian Agata Yuvens, menyatakan status DPO yang dipersoalkan KPK menjadi tidak relevan.

Menurut dia, KPK selalu mengetahui keberadaan dari Paulus Tannos dan malah secara tiba-tiba memasukkannya ke dalam daftar DPO.

Damian menuturkan kliennya sudah pernah dimintai keterangan satu di antaranya sebagai saksi dalam perkara tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong pada tahun 2017. Bahkan, keterangan tersebut termuat dalam Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Nomor 100/2017 tanggal 21 Desember 2017.

"Faktanya pula di bulan November 2021 Pemohon berkomunikasi dengan penyidik Termohon yang bahkan sempat bersurat dengan Termohon, namun ujug-ujug Termohon memasukkan Pemohon dalam DPO pada tanggal 19 Oktober 2021," ungkap Damian.

"Kalau benar Termohon tidak tahu di mana, tidak mungkin sampai sekarang Pemohon sedang dikekang kebebasannya. Hal ini menyebabkan status DPO pada Pemohon menjadi tidak relevan karena kedudukan Pemohon jelas ada di mana," lanjutnya.

Kasus Paulus Tannos merupakan proses ekstradisi pertama yang dilakukan oleh Indonesia dan Singapura. Kedua negara telah melakukan penandatanganan perjanjian ekstradisi pada tahun 2022, yang dilanjutkan dengan ratifikasi pada tahun 2023.

(ryn/isn)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research