REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah pengakuan negara yang monumental menjadi kebanggaan bagi seluruh warga Bima. Mereka kini memiliki panutan dari daerah sendiri yang diakui sebagai pahlawan nasional.
Sultan Bima XIV Muhammad Salahuddin, putra terbaik Bima, kini resmi sejajar dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
"Saya ditelepon dari Sesmilpres. Pesannya dari (Menteri Kebudayaan) Fadli Zon, yang mengabarkan bahwa Sultan Muhammad Salahuddin lolos menjadi Pahlawan Nasional," ujar Kepala Museum Samparaja, Dewi Ratna Muchlisa, yang juga merupakan cucu dari Sultan Muhammad Salahuddin di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat.
Sang sultan merupakan sosok pemimpin visioner yang memerintah Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada periode krusial sejarah Indonesia, yakni dari tahun 1915 hingga 1951. Kepemimpinannya diwarnai oleh perjuangan gigih melawan penjajahan dan upaya memajukan kesejahteraan rakyatnya.
Lahir dengan nama asli Muhammad Salahuddin pada tahun 1888, sejak muda dia menunjukkan ketertarikan mendalam pada ilmu pengetahuan dan agama. Semua itu kelak membentuk karakter kepemimpinannya yang bijaksana dan berwawasan luas.
Saat naik takhta sebagai Sultan Bima XIV, pria yang namanya mirip pemimpin Dinasti Ayubiyah ini menghadapi tantangan besar berupa cengkeraman kolonial Belanda yang kuat.
Pada abad ke–17 dan seterusnya, wilayah Bima di Pulau Sumbawa mulai menjadi sasaran langkah ekspansi Belanda yang memonopoli jalur perdagangan rempah dan pelabuhan strategis di timur Nusantara.
Sebagaimana dikemukakan dalam “Awal Kedatangan Belanda di Bima” bahwa VOC melihat Bima sebagai pelabuhan penting bagi akses ke kawasan timur dan untuk menghambat Portugis sekaligus memperluas pengaruh Belanda.
Untuk mewujudkan kontrol itu, Belanda tak hanya melalui jalur perdagangan tetapi juga politik dengan menegosiasikan kontrak dan perjanjian panjang serta memasukkan Kesultanan Bima ke dalam sistem administrasi kolonial mereka.
Memasuki abad ke–20, pengaruh kolonial semakin kuat ketika Kesultanan Bima dipaksa menandatangani kontrak panjang (Lange Contract) dan hak raja serta sistem hukum adat Islam mulai direduksi.
Penelitian Perang Ngali (Perlawanan Rakyat Bima Terhadap Penjajahan Belanda Tahun 1908–1909) menunjukkan bahwa masyarakat Bima memberontak karena kebijakan pajak yang merugikan, penggantian hukum syariah dengan sistem kolonial, serta perampasan kedaulatan oleh Belanda.
Dampak cengkeraman kolonial itu tampak dalam ranah politik, sosial, dan budaya masyarakat Bima. Sistem pengumpulan pajak yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial, intervensi dalam lembaga-keagamaan, penggantian hukum adat dengan hukum kolonial Belanda, hingga penghapusan mandiri-nya perangkat pemerintahan lokal menjadi realitas yang memicu resistensi rakyat.
sumber : Antara

3 hours ago
2











































