2 hours ago
1
Sampel produk bahan bakar alternatif Bobibos.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Misteri Blue Energy dan kisah Nikuba di Cirebon pernah menjanjikan bahan bakar alternatif karya anak bangsa yang disebut revolusioner, lalu berakhir dengan kontroversi dan tanda tanya besar. Di tengah jejak dua “BBM ajaib” yang kandas itu, publik kini disuguhi Bobibos yang kembali menawarkan energi murah, hijau, dan berlabel merah putih.
“Mungkin masih ada yang ingat misteri Blue Energy yang pernah menjadi isu politik nasional.” Kalimat ini menggambarkan bagaimana teknologi biru di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu dahulu lebih banyak hidup sebagai wacana dan simbol politik, bukan sebagai solusi energi yang benar-benar teruji di jalan.
Teknologi blue energy kala itu disebut menjadikan air sebagai bahan bakar sehingga akan menghasilkan energi murah meriah bagi bangsa. Namun, banyak yang skeptis dan beberapa inovator seperti Joko Suprapto, Dr Ghulam Sarwar dari Pakistan, Agha Waqar Ahmad atau Charles H. Garrett pun disebut hanya “tukang klaim” alias hoax. Di sisi lain, selalu ada yang berpendapat, air dapat dijadikan bahan bakar dengan teknologi tertentu, sehingga topik ini sering berada antara isu hoaks dengan kerahasiaan teknologi.
Di tingkat global, perbincangan soal blue energy sebenarnya lebih banyak merujuk pada osmotic power, yakni energi yang dihasilkan dari perbedaan konsentrasi garam antara air tawar dan air laut. Teknologi tersebut dikembangkan lewat metode seperti Pressure Retarded Osmosis (PRO) dan Reverse Electrodialysis (RED), yang memanfaatkan membran khusus untuk mengubah tekanan osmotik menjadi listrik.
Proyek-proyek seperti pilot plant Statkraft di Norwegia dan instalasi REDstack di Belanda menunjukkan potensi energi osmotik yang besar, tetapi juga memperlihatkan mahalnya biaya dan rumitnya infrastruktur. Dalam berbagai kajian, osmotic power diposisikan sebagai salah satu sumber energi terbarukan yang menjanjikan, namun jelas bukan “air yang tiba-tiba jadi bensin” dalam skala rumah tangga.
