Saatnya Menata Ulang Keadilan Biaya Haji

3 hours ago 2

Oleh : Aslichan Burhan, Dewan Pakar ICMI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap tahun, jutaan umat Islam Indonesia menatap tanah suci dengan harap dan doa. Sebagian beruntung dapat berangkat, sebagian lagi harus bersabar di daftar tunggu yang kini bisa mencapai rata-rata 26 tahun secara nasional, bahkan di Sidrap dan Bantaeng Sulsel lamanya hingga 49 tahun. Namun di balik antrian panjang itu, tersimpan persoalan mendasar yang jarang diangkat: keadilan biaya haji. 

Dengan kuota haji reguler Indonesia tahun 2025 sebesar 203.320 jamaah dari total 221.000 kuota, ketimpangan ini tidak hanya menunda impian spiritual, tapi juga menimbulkan kerugian finansial bagi jutaan calon jamaah yang telah menabung bertahun-tahun.

Angka Bicara

Dalam pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2025, muncul angka mencolok yang layak direnungkan bersama. Berdasarkan Keputusan Presiden tentang BPIH 1446 H/2025 M, total BPIH per jamaah mencapai Rp89,41 juta, di mana jamaah hanya membayar Rp55,43 juta, sementara sisanya Rp33,98 juta didiskon dari nilai manfaat pengelolaan dana haji oleh BPKH. Nilai manfaat yang dihasilkan dari pengelolaan setoran jamaah haji tunggu dan dialokasikan untuk subsidi jamaah berangkat tahun ini mencapai Rp6,83 triliun secara keseluruhan.

Jika dihitung secara per jamaah, angka itu berarti: Jamaah tunggu (sekitar 5,5 juta orang, berdasarkan estimasi kuota tahunan 203.000 dikalikan masa tunggu 26 tahun) “menyumbang” nilai manfaat rata-rata hanya sekitar Rp1,29 juta per orang (dari total nilai manfaat Rp6,83 triliun dibagi jumlah tunggu) kepada Jemaah berangkat yang “hanya” 203 ribu orang yang “menikmati” subsidi sekitar Rp33,98 juta per jemaah!

Ketimpangan ini bukan sekadar hitungan ekonomi—tetapi soal keadilan sosial dan moral publik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 15-20 persen jamaah tunggu meninggal dunia sebelum giliran mereka tiba, akibat masa tunggu yang panjang ini, yang tidak hanya menimbulkan kesedihan spiritual tapi juga kerugian ekonomi bagi keluarga yang kehilangan dana tabungan haji. Apakah adil bila mayoritas jamaah tunggu justru menjadi “penanggung beban” bagi minoritas jamaah yang berangkat? Bukankah seharusnya prinsip istitha‘ah (kemampuan) menjadi ukuran utama dalam berhaji, sebagaimana ditegaskan dalam QS Ali Imran: 97, yang menyatakan haji wajib bagi yang mampu, tanpa membebani yang lain?

Argumentasi Ekonomi yang Rasional

Dari sisi ekonomi, sistem subsidi silang seperti ini sudah waktunya dikaji ulang karena bom waktunya mirip indikasi ponzi scheme. Ketika dana manfaat haji terus digunakan untuk menutup selisih antara BPIH dan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) jamaah berangkat, maka dana pokok jamaah tunggu akan terus tergerus oleh inflasi dan ketidakpastian imbal hasil. 

Inflasi tahunan di Indonesia rata-rata 3-4 persen dalam lima tahun terakhir (data BPS 2020-2025), berarti dana tabungan jamaah tunggu yang rata-rata Rp25 juta per orang bisa kehilangan daya beli hingga 30-40 persen setelah 10 tahun menunggu, tanpa kompensasi yang memadai.  

Hingga Agustus 2025, nilai manfaat keseluruhan dari pengelolaan BPKH mencapai Rp8,10 triliun, naik 6,86 persen dari tahun sebelumnya, tapi sebagian besar justru memanjakan yang berangkat saja, bukan untuk melindungi pokok dana tunggu dari erosi nilai. 

Padahal, dana tersebut sejatinya milik mereka yang belum berangkat—yang telah menabung dengan ikhlas, berharap gilirannya tiba. Menunda keadilan bagi mereka berarti membiarkan ketimpangan struktural yang merugikan umat dalam jangka panjang,

Argumentasi Fiqih yang Tegas

Dari sisi fiqih, persoalan ini sudah dibahas secara mendalam oleh para ulama. Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI ke-8 tahun 2024 (Fatwa Nomor 09/Ijtima Ulama/VIII/2024) dengan tegas menegaskan bahwa hukum memanfaatkan hasil investasi setoran awal BIPIH calon jamaah haji untuk membiayai penyelenggaraan haji jamaah lain adalah haram, karena melanggar prinsip amanah dan keadilan (QS. An-Nisa: 58).  Setiap jamaah bertanggung jawab atas kewajiban hajinya sesuai kemampuan (istitha‘ah) masing-masing, sebagaimana dijelaskan dalam kitab fiqih klasik seperti Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, yang menekankan bahwa haji harus didanai dari harta pribadi tanpa membebani orang lain.

Artinya, subsidi yang diambil dari dana manfaat jamaah tunggu untuk mengurangi biaya jamaah berangkat tidak memiliki dasar fiqih yang kuat. 

Dana tersebut harus dikelola secara amanah, transparan, dan berorientasi pada kepentingan semua jamaah—baik yang berangkat maupun yang menunggu—sebagaimana norma syariah yang menuntut distribusi manfaat secara proporsional, bukan diskriminatif.

Momentum Politik dan Moral Baru Prabowo

Kini, dengan berdirinya Kementerian Haji yang terpisah dari Kementerian Agama sejak awal 2025, publik berharap ada keberanian baru untuk menata ulang kebijakan biaya haji secara adil dan proporsional.  Ini momentum emas untuk mengakhiri politik populis-subsidi irasional yang tidak sehat. Kesadaran ini penting jika tidak ingin pening di masa depan, bergegaslah membuka babak baru manajemen haji berbasis keadilan dan keberlanjutan.

Keadilan bukan berarti menghapus kepedulian sosial. Keadilan justru menegakkan nilai dasar Islam: menempatkan sesuatu pada tempatnya (al-i’tidal). Jamaah berangkat yang mampu harus menanggung biayanya secara mandiri, sementara jamaah kurang mampu dapat dibantu melalui skema diskon yang jelas sumbernya—bukan dari dana jamaah lain. 

Rasionalisasi ini selaras dengan prinsip maqashid syariah, yang memprioritaskan hifz al-mal (perlindungan harta) bagi semua pihak.

Menjadi “Silent Majority”

Lebih dari lima juta jamaah haji tunggu di seluruh Indonesia adalah kelompok silent majority—mereka tidak bersuara, karena mereka tidak tahu. Sadarkah kita bahwa merekalah pilar utama dana haji, dengan total setoran pokok mencapai ratusan triliun rupiah. Sudah saatnya suara mereka diadvokasi. Tidak untuk menggugat siapa pun, melainkan untuk memperjuangkan keadilan dan keberlanjutan pengelolaan dana haji, yang jika dikelola optimal bisa menghasilkan imbal hasil tahunan hingga 7 persen nilai manfaat komersial dan nilai tambah sosial berkelanjutan.

Kita percaya, manajemen haji Indonesia telah banyak berbenah, dengan peningkatan nilai manfaat dari tahun ke tahun. Kunci pembenahan sejati adalah ketika sistemnya berpihak kepada semua jamaah, bukan hanya yang berangkat tahun ini, tetapi juga mereka yang menunggu dengan penuh sabar—tahun demi tahun.

Haji adalah ibadah istimewa yang menuntut kemampuan, kesabaran, dan keikhlasan. Pemerintah dan umat Islam Indonesia harus menjaganya dari praktik ketidakadilan sistemik, sekecil apa pun. Dengan data dan norma yang jelas, reformasi ini bukan hanya kewajiban moral, tapi juga investasi jangka panjang untuk keberkahan umat.

Saatnya kita menegakkan keadilan biaya haji—agar keberkahan tidak hanya turun di Arafah, tapi juga dirasakan di Tanah Air

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research