Refleksi Sejarah Muhammadiyah Jabar: Sinergi Ulama-Pengusaha

3 hours ago 2

Oleh: Roni Tabroni*)

Jawa Barat atau yang populer dengan nama Tatar Parahyangan memiliki karakteristik tersendiri bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Pulau Jawa. Mayoritas kelompok etnis setempat adalah Sunda.

Di sini, Muhammadiyah memiliki sejarahnya tersendiri. Bisa jadi ada kesamaan, tetapi banyak pula perbedaan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. 

Barangkali, di banyak daerah, organisasi masyarakat (ormas) keagamaan seolah-olah hanyalah urusan kaum agamawan. Kondisinya berbeda di Jawa Barat (Jabar). 

Ada koneksi kuat antara dua kutub yang sepintas tampaknya tidak saling berhubungan: agamawan dan pengusaha. Dalam sejarah perkembangan Muhammadiyah di Jabar, ada peran kuat kelompok pengusaha, di samping tentunya kalangan alim ulama.

Kehadiran organisasi pembaharuan pada awal abad ke-20 di Tatar Parahyangan berawal dari interaksi seorang pengusaha (sodagar) batik di Garut. Namanya, Haji Mas (HM) Djamhari. 

Pada masa itu, ia banyak berinteraksi dengan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, dan juga dengan murid yang sekaligus tangan kanan sang kiai, yakni Haji Fachrodin. 

Ketiganya memiliki kesamaan, yakni tidak hanya aktif sebagai pengusaha, melainkan juga di ranah syiar agama Islam. Di Jabar, ketiga sosok tersebut menginisiasi perintisan Muhammadiyah yang awalnya diberi nama Al Hidayah. 

Barulah pada tahun 1921, ini kemudian diresmikan menjadi Muhammadiyah. Hal itu setelah pemerintah kolonial Belanda membuka izin Muhammadiyah berekspansi ke luar Karesidenan Yogyakarta. 

Pada fase perintisan dan awal penyebaran Muhammadiyah di Jabar, peran pengusaha sangatlah sentral. Terlebih lagi, dalam masa pengembangannya di Bandung. 

Pengusaha menjadi tulang punggung finansial yang memastikan roda organisasi dan amal usaha Muhammadiyah dapat bergerak, bertambah, dan berekspansi. Di samping beberapa personal yang turut membantu, ada salah satu keluarga yang sangat menonjol kontribusinya dalam menyokong dakwah dan pembangunan amal usaha Muhammadiyah (AUM) di Bandung, yaitu keluarga Kancana. 

Mereka terdiri atas kakak beradik, lima bersaudara yang berasal dari Singaparna-Tasikmalaya. Dengan semangat dakwahnya, para pengusaha besar pada masanya ini mendedikasikan harta dan kekayaannya untuk kepentingan umat Islam. 

Keuntungan dari bisnisnya dialirkan untuk mendanai pembangunan masjid, pesantren, sekolah, panti asuhan, dan kegiatan dakwah. Modal ekonomi yang dimiliki para pengusaha ini diubah menjadi modal sosial dan spiritual yang mempercepat diseminasi nilai-nilai Muhammadiyah. 

Mereka membuktikan, kekayaan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana. Harta adalah alat untuk menebar manfaat dan maslahat seluas-luasnya bagi umat.

Ketika kelompok pengusaha menyediakan "darah" bagi tubuh organisasi, para ulama berperan sebagai "jantung" yang memompa. Mereka berkomitmen dalam menjaga kemurnian ideologi serta spirit pergerakan Muhammadiyah. 

Di Jabar, beberapa sosok ulama yang populer pada masa itu bisa disebutkan di sini. Misalnya, KH Iping Zaenal Abidin, KH Hambali Ahmad, KH EZ Muttaqien, KH Taufik Ali, dan KH Miskun dari Garut. 

Pada saat yang sama, para ulama juga merupakan kaum intelektual. Mereka dikenal sebagai ahli tafsir, pakar hadis, dan pendakwah dengan kedalaman ilmu yang diakui secara nasional. Ulama-intelektual ini memberikan warna terhadap corak Muhammadiyah di Jabar sehingga begitu diperhitungkan.

Bagi Muhammadiyah di Jabar, para ulama tersebut merupakan pilar-pilar intelektual dan spiritual yang tak ternilai. Kehadirannya memperkokoh aspek pemahaman, ideologi, penyebaran pesan-pesan. Sebagai kiai, mereka mengasuh dan merawat pesantren. Di tengah masyarakat, mereka menjadi tempat umat bertanya. 

Mereka adalah guru-guru yang bertugas merumuskan pemahaman keagamaan yang sesuai dengan manhaj Muhammadiyah, yakni pemurnian tauhid dan penolakan terhadap takhayul, bidah, dan khurafat (ejaan lama: churafat): TBC. 

Lebih dari itu, mereka juga dikenal secara luas sebagai uswah hasanah, contoh teladan akhlak yang baik, rendah hati dan sangat tawaduk. Semuanya hidup sangat sederhana. Tidak ada hal yang menonjol secara finansial maupun hal-hal berbau kebendaan lainnya. 

Melalui ceramah, pengajian, dan penulisan, mereka memastikan bahwa perkembangan organisasi tidak menyimpang dari khittah perjuangannya. Karisma dan kedalaman ilmunya menarik minat masyarakat untuk bergabung, memberikan legitimasi religius yang kuat bagi gerakan Muhammadiyah.

Kolaborasi antara ulama dan pengusaha dalam fondasi awal Muhammadiyah Jabar tidak hanya sekadar pembagian peran. Ini juga menjadi sebuah simbiosis mutualisme yang melahirkan gerakan sosial-keagamaan yang tangguh, mandiri, dan berkelanjutan. 

Jejak historis ini, bagaimanapun, telah menjadi pelajaran berharga bagi generasi masa kini untuk terus menjaga ruh perjuangan di tengah kompleksitas zaman. Menyatukan kekuatan berbasis pada potensi dengan berbagi peran sesuai porsinya sendiri-sendiri. 

Bersatunya dua kekuatan dalam membangun fondasi Muhammadiyah di Jabar dapat dirasakan hingga kini. Para pejuang tersebut namanya terus dikenang, tersimpan pada memori kolektif kader-kadernya walaupun mungkin semakin sedikit yang mengetahui kisahnya. 

Sebagian generasi baru Muhammadiyah tampaknya sudah rabun melihat spirit mereka. Baiknya, ada yang mengingatkan bahwa jasa-jasa mereka menguatkan nuansa kebatinan warga Persyarikatan dalam masa-masa sulit, yakni sebelum kemerdekaan, masa revolusi, hingga awal Orde Baru. Dalam periode itu semua, Muhammadiyah Jabar sudah bisa berdiri dan memiliki peran strategis secara nasional.

Muktamar 1965

Jika membuka lagi lembaran sejarah, hampir di pengujung kekuasaan Orde Lama pada 1965, Muhammadiyah Jabar menerima amanat. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memercayainya untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan muktamar. 

Peristiwa bersejarah ini menjadi bukti, pada akhir masa kepemimpinan presiden Sukarno yang penuh gejolak, Muhammadiyah Jabar telah menjadi kekuatan civil society yang sangat diperhitungkan. 

Kemampuan untuk menyelenggarakan Muktamar merupakan cerminan dari kematangan organisasi, kekuatan finansial, dan jaringan sosial-politik yang telah dibangun melalui sinergi ulama-pengusaha selama puluhan tahun.

Kesiapan sumber daya manusia (SDM) dan juga infrastruktur menjadi kekuatan bagi Muhammadiyah Jabar untuk memastikan hajat nasional tertinggi di Persyarikatan ini dapat dilaksanakan dengan sukses. Soliditas dan spirit berkorban dari seluruh potensi kader dan anggota juga memberikan kepastian akan terselenggaranya event yang sangat penting itu. 

Padahal, muktamar di Bandung saat itu bukan event biasa. Sebab, hubungan Muhammadiyah dengan Sang Pemimpin Revolusi sedang mengalami dinamika yang cukup pelik. 

Ada nuansa politis yang cukup tinggi hingga beberapa langkah strategis, taktis, dan bahkan sedikit ”memaksa” agar bagaimana Sukarno dapat hadir di arena muktamar. Bintang Emas Muhammadiyah, yang menjadi simbol kehormatan tertinggi, disematkan kepada Bung Karno dengan event khusus di Istana Negara, Bogor. Itulah pertama kalinya penyematan tanda penghargaan tersebut.

Strategi dakwah ini dimainkan begitu indah. Akhirnya, Sukarno dapat menghadiri muktamar yang megah itu. 

Banyak pihak yang berceritera dan catatan sejarah telah menggoreskan kisah indah bagaimana akhirnya hubungan Muhammadiyah dan Sukarno menjadi harmonis kembali. Dinamika ini tidak lepas dari spirit Bandung yang selalu meninggalkan kesan positif dalam berbagai event-nya. 

Hingga di sini, kita akan menatap masa lalu sebagai kisah manis. Namun, yang tidak kalah pentingnya, bagaimana narasi masa lalu itu dapat memberikan panduan dan spirit bagi kader masa kini untuk menatap ke depan. 

Jangan sampai era digital dan terpaan politik praktis mengendorkan spirit dan ideologi Muhammadiyah. 

Dengan merenungi sejarah, mewarisi semangat para pendiri, dan beradaptasi dengan tantangan zaman, Muhammadiyah Jabar diharapkan dapat terus berkontribusi dalam membangun peradaban yang lebih baik, sebagaimana dahulu para ulama dan pengusaha merintisnya dengan penuh ketulusan dan keikhlasan. 

Semangat bermuhammadiyah adalah semangat untuk terus memajukan kehidupan umat dan bangsa, melalui amal dan pengorbanan. Wallahu a’lam

*) Dr. Roni Tabroni adalah dosen ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Bandung serta Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research