Pembangunan Ekonomi vs Konservasi, Mencari Titik Temu Pengelolaan Lahan dan SDA Indonesia

4 hours ago 1

Oleh : Erwan Sudarjanto et.al Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan, peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia memperkuat strategi hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam dan memperkuat posisi rantai nilai global. Program ini menjadi prioritas dalam RPJMN 2025–2029 melalui kemudahan perizinan (OSS), insentif fiskal, dan kebijakan ekspor progresif di sektor seperti sawit dan kakao.

Tujuannya untuk mendorong ketahanan ekonomi nasional serta memperluas peran petani dan UMKM dalam pengolahan domestik. Namun, di balik peluang tersebut muncul tantangan tata ruang, lingkungan, dan sosial, termasuk konflik lahan dan dampak ekologis.

Kementerian Kehutanan mencatat deforestasi pada 2024 sebanyak 175.400 hektare. Data Auriga Nusantara menunjukkan angka lebih tinggi, yakni 261.575 hektare, dengan Kalimantan sebagai penyumbang utama. Kerusakan mencakup tumpang tindih konsesi industri, hilangnya habitat satwa kunci dan terpinggirkannya masyarakat adat.

Dalam dua tahun terakhir, deforestasi total mencapai 1,93 juta hektare, melampaui target FOLU Net Sink 2030. Pemerintah menindak tegas eksploitasi ilegal, termasuk penertiban 5 juta hektare perkebunan sawit bermasalah, di mana 3,1 juta hektare telah disita dengan dukungan aparat.

Dilema Hilirisasi dan Keberlanjutan Lingkungan 

Indonesia menghadapi dilema antara hilirisasi–industrialisasi dan keberlanjutan lingkungan serta keadilan sosial. Pembangunan yang membutuhkan lahan luas kerap berbenturan dengan kawasan konservasi dan wilayah adat.

Tumpang tindih tata ruang, lemahnya penegakan hukum, dan konflik agraria menunjukkan tata kelola lahan dan sumber daya alam yang masih sektoral dan tidak terintegrasi.

Regulasi lintas kementerian yang tidak harmonis menimbulkan ketidakpastian pemanfaatan ruang. Sementara orientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek sering mengabaikan aspek keberlanjutan. Lemahnya koordinasi antar-lembaga serta keterbatasan kapasitas daerah memperburuk implementasi kebijakan.

Selain itu, pengabaian hak masyarakat adat dan minimnya insentif untuk investasi hijau mendorong praktik eksploitasi yang merusak lingkungan dan menimbulkan konflik sosial, menandakan perlunya tata kelola SDA yang lebih adil, terintegrasi, dan berkelanjutan.

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research