Oleh RANA SETIAWAN; Jurnalis dan Pemerhati Permasalahan Palestina
REPUBLIKA.CO.ID,Salju tak pernah turun di Gaza. Namun dingin di sana jauh lebih menusuk daripada musim dingin di banyak negeri empat musim. Dingin itu bukan sekadar suhu yang turun, melainkan kombinasi sempurna dari kelaparan, pengungsian, dan blokade yang terus menghimpit satu wilayah sempit berpenduduk 2,3 juta jiwa.
Setiap memasuki November, bulan yang bagi dunia menjadi awal musim dingin, bagi warga Gaza justru menjadi pengingat luka lama: musim dingin ketiga yang harus mereka lalui tanpa rumah, tanpa pelindung memadai, tanpa jaminan keselamatan. Tahun 2025 ini, ancamannya jauh lebih berat.
UNRWA dalam laporan terbarunya mengingatkan bahwa ratusan ribu warga Gaza menghadapi musim dingin ketiga tanpa tenda layak. “Tenda-tenda lusuh itu mudah banjir, merendam barang-barang dan membuat keluarga terpapar dingin,” tulis lembaga tersebut (UNRWA, 17 November 2025). Lebih dari 13.000 keluarga bahkan dilaporkan tergenang air setelah hujan pertama mengguyur Gaza.
Musim dingin bukan lagi fenomena alam; ia telah berubah menjadi perang kedua, menyerang tubuh warga Gaza ketika peluru dan roket berhenti sejenak.
Dingin yang tak sekadar cuaca
Memasuki penghujung tahun, gambar-gambar dari Khan Younis, Rafah, dan Deir al-Balah kembali menunggu kita seperti ingatan pahit yang tak kunjung reda. Selimut basah, anak-anak menggigil, ibu-ibu memeluk bayi berbalut baju tipis, dan tenda-tenda yang roboh diterjang angin musim dingin, semuanya mengulang tahun kemarin tanpa perubahan berarti. Gaza seolah terperangkap dalam musim dingin yang tidak pernah selesai.
Kondisi lapangan memperlihatkan bahwa ini bukan sekadar cuaca buruk. Ini adalah krisis yang dibentuk oleh keputusan manusia. Blokade berkepanjangan menghalangi masuknya tenda baru, pakaian hangat, dan rumah darurat. Keterbatasan bahan bakar membuat alat pemanas tak berfungsi, memaksa keluarga tidur di lantai dingin yang menusuk tulang. Infrastruktur air dan listrik yang hancur membuat kebersihan mustahil dijaga, mengundang penyakit yang mengintai dari setiap sudut.
Musim dingin di Gaza bukan hanya tentang suhu yang turun. Ia membawa tekanan kemanusiaan akut: anak-anak batuk tanpa henti, infeksi kulit menyebar di tenda-tenda basah, dan orang tua kehilangan kekuatan untuk melawan dingin dan lapar sekaligus. UNRWA menyebutnya “lapisan kerentanan baru/layer of vulnerability”, karena setiap hari menambah luka lama yang belum sempat sembuh.
Pada saat yang sama, tragedi lain berlangsung di balik dinding-dinding yang tak terlihat kamera. Physicians for Human Rights–Israel merilis data mengejutkan: sebanyak 94 tahanan Palestina meninggal dalam dua tahun terakhir, akibat penyiksaan dan penelantaran medis. Angka itu bukan statistik; itu adalah nyawa manusia yang hilang dalam senyap. Fakta ini menegaskan bahwa ancaman bagi rakyat Palestina tidak berhenti di tenda pengungsian. Mereka menghadapi bahaya di setiap ruang hidup, di jalan, di rumah, bahkan di dalam penjara.
Semua ini memperlihatkan satu kebenaran pahit, bahwa dingin bukan ancaman tunggal. Ia hanyalah satu dari banyak wajah ketidakadilan yang terus menekan kehidupan dua juta warga Gaza. Musim berganti, tetapi penderitaan tetap tinggal. Dunia mungkin lelah melihat Gaza, tetapi Gaza tidak memiliki pilihan selain bertahan.
Di tengah semua ini, yang dibutuhkan bukan sekadar empati musiman. Yang dibutuhkan adalah kesadaran moral dan tindakan politik. Perlu ada tekanan internasional yang nyata untuk mengakhiri blokade, membuka akses kemanusiaan, dan menegakkan mekanisme akuntabilitas bagi pelaku pelanggaran HAM. Suara publik global harus terus hadir, karena diam hanya akan mengulang dingin tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya.
Gaza tidak membutuhkan belas kasihan. Gaza membutuhkan keadilan, agar musim dingin suatu hari benar-benar bisa berlalu.

4 hours ago
1
































