REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baru-baru ini melalui jaringan beritanya, ISIS kembali menyerukan ajakan berjihad ke negara-negara yang tengah dilanda konflik, salah satunya adalah Sudan. Dengan dalih 'persatuan global', narasi jihad dilontarkan untuk mendapatkan pasokan segar tentara berani mati secara cuma-cuma untuk menguatkan posisi ISIS di wilayah konflik. Jargon 'persatuan global' ini seolah seperti membohongi diri sendiri, sebab persatuan yang sejati tidak mungkin dicapai dari tindakan yang eksploitatif dan segregatif.
Membahas dampak negatif seruan jihad dengan narasi persatuan, ukhuwah, dan semacamnya, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Darud Dakwah wal Irsyad (PB DDI), Prof (HC) Muh. Suaib Tahir mengajak agar masyarakat berhati-hati terhadap seruan atau propaganda semacam ini.
“ISIS dan jaringannya meyakini tentang pentingnya global community. Khilafah, bagi mereka, adalah global community, artinya persatuan global. Karena dulu khilafah itu kan meliputi beberapa wilayah, seperti Afrika, Arab, dan Eropa. Kemudian, mereka meyakini saat ini umat Islam harus berada dalam satu sistem yang sama," kata Prof Suaib di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Dirinya menambahkan, bagi ISIS dan jaringannya, serta jaringan lain yang serupa, kemunculan ide tentang nasionalisme adalah sesuatu yang merusak persaudaraan global yang berusaha mereka munculkan.
Nasionalisme, menurut mereka, malah mengkotak-kotakkan umat Islam dalam beberapa negara yang berbeda, sehingga terdapat muslim Indonesia, muslim Arab Saudi, muslim Emirat, muslim Malaysia, muslim Singapura.
“Hal yang demikian bagi mereka adalah kondisi yang tidak ideal. Harus disatukan lagi. Itulah yang mereka sebut sebagai “persaudaraan global”. Mereka menganggap, konflik yang terjadi di sana (Sudan), kita harus ikut bergabung ke sana untuk berperang,” imbuh Prof Suaib.
Menurutnya, andaikata ada orang Indonesia yang tergiur untuk berangkat ke Sudan atau negara tujuan dari propaganda ISIS, mereka tidak akan menemukan 'persatuan global' yang sebelumnya sudah digembar-gemborkan. Jangankan bicara solidaritas, nyatanya para pimpinan tertinggi ISIS tidak ada yang berasal dari negara Asia. Orang Asia hanya menjadi kombatan yang dengan mudahnya digantikan apabila gugur di pertempuran.
“Jadi, dalam praktiknya sendiri, persaudaraan global itu susah. Karena mereka (jaringan teror) masih memandang orang Asia itu sebagai bawahan. Dalam ISIS juga begitu, orang Indonesia tidak memegang posisi yang tinggi, paling hanya jadi kombatan-kombatan di bawah. Mereka diterima, tetapi tidak ditempatkan pada posisi-posisi yang strategis karena dianggap, ‘Kamu kan pendatang'," ujar Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta ini.
Ia menilai, lemahnya solidaritas di antara mereka yang dibesarkan di negara-negara Timur Tengah, sejatinya sudah dapat dilacak dari ketiadaan konsensus kebangsaan yang mengikat semua golongan. Rapuhnya solidaritas ini berdampak pada institusi kebangsaan dan kenegaraan banyak wilayah di Timur Tengah yang mudah dilanda konflik berkepanjangan hingga perang saudara.
Selain itu, rasa kesukuan yang begitu kuat namun tidak dijaga oleh konsensus kebangsaan yang memadai seringkali memantik banyak konflik berkepanjangan di wilayah Timur Tengah, dan rakyat lah yang menjadi korbannya.
Oleh karena itu, Prof Suaib menyampaikan bahwa rakyat Indonesia patut bersyukur dan bangga karena sejak dari jauh hari sudah memiliki konsensus kebangsaan yang mampu menyatukan banyak suku dan golongan yaitu Empat Pilar Kebangsaan Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
“Walaupun di Indonesia terdapat banyak suku yang berbeda, namun masing-masing dari mereka tidak mengasingkan atau mengacuhkan orang dari suku lainnya. Konsensus kebangsaan yang kuat dan dipahami oleh masyarakat umum membuat integrasi antarsuku di tengah masyarakat berjalan praktis tanpa ada hambatan," ungkapnya.
Belajar dari konflik di berbagai wilayah di Timur Tengah sebagai hasil dari rapuhnya persatuan bangsa, Prof Suaib berpesan agar generasi muda Indonesia harus betul-betul Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 sebagai dasar utama dalam upaya mempertahankan persatuan dan kesatuan. Karena kalau ini diabaikan, maka bisa menjadi ancaman disintegrasi bangsa.
“Generasi muda, selain sebagai modal utama kita ke depan dan masa depan negara kita, juga bisa menjadi ancaman kalau potensi mereka tidak dimanfaatkan secara optimal. Mereka harus memahami wawasan kebangsaan yang tertuang dalam Empat Pilar Kebangsaan. Kita patut bersyukur karena punya gagasan tentang wawasan kebangsaan, beda dengan negara-negara lain yang tidak punya itu. Negara yang tidak memahami kebangsaannya dengan benar akan rentan untuk di utak-atik dan dipecah-belah, tapi, kalau kita orang Indonesia, saya pikir tidak demikian," katanya.

2 hours ago
2










































