Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan-perusahaan Jepang tengah berbondong-bondong melakukan pembiayaan dari utang valuta asing (non yen).
Berdasarkan data hingga Oktober 2025, nilai penerbitan obligasi dan pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh korporasi Jepang telah menembus nilai US$132 miliar atau setara Rp2.204 triliun (asumsi kurs: Rp16.700/US$).
Angka ini sekaligus menandai kenaikan hingga 56% bila dibandingkan tahun 2024.
Lonjakan ini menjadikan utang dalam valuta asing (valas) untuk pertama kalinya melampaui penerbitan obligassi dalam bentuk yen Jepang. Hal ini pun menandai berakhirnya era "uang gratis" di Negeri Sakura setelah hampir dua dekade kebijakan moneter yang ultra longgar dari bank sentral jepang (BoJ).
Kenaikan biaya pinjaman yen ke level yang tertinggi sejak 2000-an membuat pendanaan global dalam bentuk dolar dan euro menjadi lebih menarik. Yang sekaligus menandai kebangkitan Jepang di pentas keuangan global, bukan lagi sekedar pemberi modal, tetapi kini juga sebagai peminjam aktif di pasar global.
Akar Perubahan: Kenaikan Biaya Pinjaman Dalam Yen
Faktor yang menjadi kunci dari perubahan perilaku korporasi Jepang ini didasari pada kebijakan moneter bank sentral Jepang. Setelah bertahun-tahun mempertahankan suku bunga mendekati level nol persen, BoJ sejak Maret 2024 telah melakukan tiga kali kenaikan suku bunga acuannya untuk melawan kondisi inflasi yang terus meningkat.
"Kami secara khusus menambah tim untuk penerbitan obligasi luar negeri karena permintaannya meningkat signifikan," ujar Kazuhiro Yamauchi, Head of Global Debt Capital Markets Mizuho Securities, dikutip dari Bloomberg.
Bahkan perusahaan yang sebelumnya tak tertarik kini mulai mempelajari lebih dalam instrumen valas. Pergeseran ini bukan hanya reaksi jangka pendek terhadap perbedaan suku bunga, melainkan indikasi dari transformasi struktural dalam perilaku korporasi Jepang yang sebelumnya lebih memilih menimbun kas selama periode deflasi panjang.
Jepang Geser China di Asia-Pasifik
Ledakan jumlah utang luar negeri korporasi Jepang telah mengubah peta pasar kredit di Asia Pasifik.
Tahun 2025 ini, perusahaan Jepang telah menyumbang 28% dari total penerbitan obligasi dalam bentuk dolar dan euro di kawasan. Angka nya sekitar US$386 miliar setara dolar yang menjadikan Jepang sumber terbesar obligasi valas di Asia-Pasifik hingga melampaui China yang sebelumnya dominan melalui perusahaan di sektor properti.
Sementara perusahaan properti China masih kesulitan masuk pasar global akibat krisis utang sejak 2021, perusahaan Jepang justru menjadi lokomotif baru bagi kredit Asia dari perusahaan blue-chip seperti NTT, Toyota, hingga konglomerat teknologi seperti SoftBank.
Foto: Bloomberg
Utang Korporasi Jepang di Asia-Pasifik
Lebih dari 70% penerbitan obligasi luar negeri Jepang kini memiliki peringkat kredit A atau lebih tinggi, menandakan peningkatan signifikan dalam profil risiko kawasan. Peningkatan ini menjadikan pasar kredit Asia semakin dalam, stabil, dan berdaya tarik bagi investor institusi global yang selama ini mencari alternatif aman di tengah volatilitas pasar.
Kinerja imbal hasil juga memperkuat daya tarik tersebut. Obligasi yen justru mencatat return negatif sekitar 0,5% sepanjang tahun, sementara obligasi dolar Asia dan Amerika Serikat mampu memberikan imbal hasil di atas 7%, berdasarkan data indeks Bloomberg.
Perbedaan performa ini mendorong investor beralih dari pasar domestik Jepang menuju instrumen global berbasis dolar.
Perubahan struktur ini turut direspons lembaga keuangan besar. JPMorgan telah memperluas tolok ukur globalnya dengan menambahkan obligasi Jepang dan Australia ke dalam Asia Credit Index, menandai reposisi kawasan dari pasar berisiko tinggi menjadi pasar kredit matang dengan dominasi emiten berperingkat investasi.
Bagi investor institusional, pasar utang valas Jepang kini menawarkan diversifikasi sektor dan stabilitas yang jarang ditemui di Asia. Portofolio penerbitnya mencakup berbagai sektor unggulan mulai dari teknologi, telekomunikasi, otomotif, hingga finansial.
Tiga Hal yang Mendorong Korporasi Jepang Meningkatkan Utangnya
1. Gelombang investasi besar di sektor kecerdasan buatan (AI).
Raksasa teknologi seperti SoftBank Group menjadi motor utama dengan pinjaman jembatan senilai US$15 miliar untuk membiayai ekspansi agresif di bidang AI global.
Di sisi lain, NTT Inc. mencatat penerbitan obligasi jumbo senilai US$17,7 miliar pada Juli 2025, menjadi rekor tertinggi di Asia, untuk mendanai privatisasi anak usaha pusat datanya, NTT Data, yang kini berfokus pada bisnis AI dan layanan data center berskala internasional.
2. Aktivitas merger dan akuisisi (M&A) juga meningkat tajam.
Nilai transaksi akuisisi yang dilakukan perusahaan Jepang melonjak hingga 129% menjadi US$262 miliar, mencerminkan dorongan kuat korporasi untuk memperluas skala dan diversifikasi bisnis.
Sejumlah aksi korporasi besar seperti privatisasi NTT Data dan ekspansi SoftBank ke sektor teknologi global menjadi simbol dari ambisi baru korporasi Jepang di luar negeri.
3. faktor demografi dan kebutuhan ekspansi internasional turut memperkuat arah perubahan ini.
Dengan populasi yang menua cepat dan pasar domestik yang cenderung stagnan, perusahaan Jepang tidak lagi dapat hanya mengandalkan permintaan dalam negeri.
Ekspansi ke pasar global menjadi kebutuhan strategis untuk menjaga pertumbuhan dan profitabilitas jangka panjang.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)














































