IHSG dan Rupiah Menggantungkan Nasib ke BI dan Cuan Dagang RI

1 month ago 30

  • Pekan lalu pasar keuangan RI bergerak mixed, IHSG masih melemah tetapi rupiah sudah mulai menguat tipis dan obligasi mulai diburu investor.

  • Wall Street bergerak beragam seiring dengan kelanjutan dari tarif trump dan prospek laju cut rate yang lebih lambat.

  • Pasar keuangan pekan ini akan banyak dipengaruhi data dari dalam negeri, mulai dari neraca dagang sampai kebijakan moneter BI.

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan pasar keuangan RI pada pekan lalu terpantau mixed di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih melemah, tetapi rupiah mulai menguat tipis dan obligasi diburu investor lagi.

Pada Jumat (14/2/2025), IHSG ditutup menguat 24,9 poin atau 0,38% ke posisil 6.638.

Sebanyak 301 saham naik, 261 turun, dan 347 tidak berubah. Transaksi tergolong ramai dengan nilai mencapai Rp 14,64 triliun yang melibatkan 14,62 miliar saham dalam 1,15 juta transaksi.

Kendati parkir di zona hijau, kenaikan IHSG tersebut belum mampu mengompensasi penurunan sepanjang pekan sebanyak 1,54% dan tercatat masih terjerembab di zona merah selama tiga pekan beruntun.

Adapun secara sektoral, properti memimpin pergerakan IHSG dengan kenaikan 3,81%. Lalu diikuti oleh utilitas 1,07%, teknologi 1,03%, konsumer 0,4%, bahan baku 0,17%, industri 0,16%, dan finansial 0,09%.

Sementara itu dari sisi saham, Bank Mandiri atau BMRI menjadi penggerak utama dengan bobot indeks poin sebesar 11,17. BMRI pada perdagangan tercatat naik 1,5% ke level 5.100.

Kemudian saham TLKM juga menjadi penggerak dengan bobot indeks poin 9,26. Pada perdagangan , TLKM tercatat naik 4,55% ke level 2.530.

Pergerakan positif IHSG tidak terlepas dari respons pelaku pasar terhadap keputusan Presiden AS Donald Trump menunda pembalasan tarif.

Pada Kamis (13/2/2025), Trump menandatangani memorandum presiden yang merinci rencana besarnya untuk memberlakukan tarif resiprokal atau imbal balik kepada mitra-mitra dagang AS.

Beralih ke pasar nilai tukar, sepanjang pekan lalu ternyata berbeda nasib dari IHSG. Rupiah terpantau ditutup di zona hijau meskipun tipis.

Dilansir dari Refinitiv pada penutupan perdagangan Jumat (15/2/2025), rupiah ditutup menguat 0,58% terhadap dolar AS, pada posisi Rp16.255/US$1.

Penutupan tersebut berhasil membuat rupiah meninggalkan level Rp16.300 dan menjadi penguatan selama tiga hari beruntun.

Rupiah menguat seiring dengan tekanan indeks dolar AS (DXY) yang kian melandai. Terpantau bertepatan dengan closing rupiah pekan lalu, DXY melemah 0,28% ke posisi 106,92.

Indeks dolar AS jatuh mendekati level terendah dalam beberapa minggu usai Indeks Harga Produsen (PPI) mengalai kenaikan atau inflasi sebesar 0,4% secara bulanan (month to month/mtm) pada Januari 2025. Inflasi lebih rendah dari Desember yang tercatat 0,3% tetapi di atas ekspektasi pasar yakni 0,3%.

Secara tahunan (yoy), inflasi PPI menembus 3,5% pada Januari 2025. Angka ini jauh di atas ekspektasi pasar takni 3,2% dann tetap bergerak pada level tertinggi sejak Februari 2023.

Inflasi inti PPI tercatat 3,6% pada Januari 2025, lebih rendah dari Desember (3,7%). Namun, angkanya jauh di atas ekspektasi pasar yakni 3,3%.

Berikutnya, ke pasar obligasi terpantau mulai diburu investor lagi, tercermin dari yield surat utang acuran RI tenor 10 tahun yang semakin turun.

Merujuk data Refinitiv, yield obligasi 10 tahun RI pada penutupan Jumat lalu berada di 6,75%, dalam sehari turun 8 basis poin (bps).

Penurunan itu mengakumulasi dalam sepekan sebanyak 13,7 bps. Perlu dicatat, pergerakan yield dan harga pada obligasi itu berlawanan arah.

Jadi, ketika yield semakin turun, maka harga terus naik yang menandai investor kian memburu obligasi.

Pages

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research